Interview

431 31 18
                                    

Dengan penerbangan 2 jam lebih 20 menit, Aditya kembali berpijak di Jakarta. Ia melirik jam tangannya, tepat menunjukkan jam 8.00 WIB. Dia segera mengatur jam tangannya untuk disesuaikan dengan waktu setempat. Karena pembagian area dan waktu, tentunya waktu di Makassar dengan Jakarta berbeda 1 jam lebih lambat.

Berjalanlah ia keluar dari bandara sambil memeriksa teleponnya. Ia berniat menelepon agency Jakarta itu. Namun, terlebih dahulu ia mencari tempat duduk agar suasana hatinya lebih bersantai untuk menghadapi Jakarta. Kemudian ia masuk ke salah satu warung kopi yang ada di bandara. Ketika menunggu pesanan kopi itu, ia mencoba menghubungi nomor telepon yang di berikan oleh ibu Helena. Tidak langsung ada yang menjawab. Namun ia mengulangi lagi, hingga ada yang mengangkat.

"Maaf, ini benar dengan Pak Budi?" tanya Aditya setelah panggilan itu tersambung.

"Betul, saya sendiri."

"Pak! Saya orangnya, Bu Helena yang dari Makassar."

"Iya, Adek! Di mana sekarang?"

"Aku di bandara Soekarno Hatta, Pak!"

"Baiklah! Apakah, Adek pernah naik damri sebelumnya?"

"Belum pernah, Pak!" jawab Aditya tanpa ragu. "Maaf, Pak! Kalau boleh tau, damri itu apa, Pak?" lanjutnya sambil mengerutkan kening kebingungan.

"Damri itu, mobil bus, Dek! Yang mengantar penumpang dari bandara ke semua terminal se-Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok , Tangerang, dan Bekasi)," jawab agency itu. "Keluarlah terlebih dahulu dari bandara! Di dekat tempat parkir ada mobil bus besar yang lewat 'kan? Nah, damri itu, adalah mobil bus yang bagian sampingnya  bertuliskan 'damri'. Dan pilihlah yang jurusan Rawamangun! Nanti aku jemput di terminal Rawamangun. Ok?"

"Baiklah, Pak! Saya coba tanya sama security dulu," jawab Aditya. Namun, ia sedikit bingung mendengarkan penjelasan agency itu.

"Oke, saya tunggu di terminal yah, Dek!"

"Iya, Pak!"

* * *

Setelah menunggu beberapa menit. Damri tujuan Rawamangun pun telah datang, dan bergegas Aditya naik ke damri tersebut. Meskipun penuh keraguan dalam hatinya. Namun tidak lagi ia hiraukan. Selama dalam perjalanan, Aditya hanya terdiam. Bukannya ia ragu salah naik damri, melainkan keraguan itu tertuju kepada Agen yang di jakarta. Ia seakan tidak yakin, tetapi apalah yang hendak dia perbuat?

"Halo, Pak! Saya sudah di terminal,"  kata Aditya dalam telepon setelah ia sampai di terminal Rawamangun. Kali ini panggilannya tersambung dengan cepat.

"Ok! Tunggu saya di sana, ya! Saya juga hampir sampai terminal."

"Iya, Pak!" jawab Aditya lalu mematikan teleponnya.

Sekitar 15 menit berlalu, telepon Aditya berdering kembali, dan itu adalah panggilan dari Agency Jakarta.

"Dek! Di bagian mana? Saya sudah di terminal ini!"

"Aku di ujung, Pak!" jawab Aditya, "di warung nasi paling ujung."

"Ok, tunggu saya di sana, ya!"

"Iya, Pak!"

Mereka tidak mematikan sambungan telepon itu, dan pandangan Aditya terus tertuju ke arah jalan depan warung makan sampai ada sebuah 'mobil sedan' berwarna putih yang berhenti tepat di depan warung.

"Halo, Dek. Masi dengar suara saya?" kata agency itu untuk memastikan apakah Aditya masih menunggunya dalam telepon atau tidak.

"Iya, Pka! Saya masih di warung," jawab Aditya lalu menarik kopernya keluar.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang