Asrama itu dibangun setahun yang lalu, kini telah berdiri kokoh. Cat bersinar terang berwarna biru laut. Menggambarkan ciri khas kediaman pelaut. Hari ini, asrama itu diresmikan untuk ditempati. Dan, semua anak taruna akan ditarik ke asrama, demi menjaga pergaulan mereka.
Mengapa saat merasakan kebebasan, aku harus ditarik ke asrama, bisik Aditya dalam hati. Ia kemudian memperhatikan kiri dan kanan. Ia merasa tidak rela meninggalkan rumah kontrakan itu. Semuanya sudah lengkap.
"Ada apa? Kok, melamun terus? Cepat dikitlah!" tegur Vijay yang juga sibuk mengemasi barang-barangnya.
* * *
Senior─menurut taksiran Aditya─pasti gampang, bebas. Begitulah keyakinannya selama ini. Namun, kenyataan itu tidak seperti yang dibayangkan. Kehidupan Aditya dan teman-temannya malah semakin sengsara. Mereka sering kali dimarahi oleh Perwira Batalion atas ketidakmapuannya mendidik junior. Dianggap semenang-menang menegakkan aturan. Padahal yang mereka terapkan itu, tidak seberapa jika dibanding dengan yang pernah mereka terima.
Tidak. Aditya dan yang lainnya tidak melakukan tindakan kriminal terhadap junior. Mereka tetap pada jalannya. Hanya push up. Hukuman itu tidak lain ialah untuk membuat mereka menyadari betapa pentingnya seorang pelaut hidup dengan aturan yang berlaku. Ditambah lagi badan bisa berbentuk menjadi lebih kekar.
* * *
Masalah yang satu belum selesai, muncul lagi masalah yang lain. Setelah dua bulan Aditya menyandang gelar senior. Ketenangan sekolah pelayaran itu diobrak-abrik oleh kedatangan Pak Bandi–instruktur pramuka yang baru. Aditya dan teman-temannya bukannya cinta pada organisasi kepramuakaan yang memang telah ada sejak dulu lagi, melainkan kebencian yang membakar otak-otak taruna itu.
"Seandainya kita mau jadi anak pramuka, kita tidak akan masuk sekolah ini," bantah Bima. Sesalnya murka kepada Pak Bandi. "Masa anak pelayaran dipaksa terampil di hutan?" lanjutnya. Ia lalu duduk di sembarangan kursi di kelas itu. Pikirannya merayap tak karuan.
Aditya dan yang lainnya pun turut merasakan hal yang sama. Ibaratnya hanya bisa berkicau, tetapi tak mampu berbuat.
Baris-berbaris, kesenioran, penghormatan, dan semua yang menjadi ciri khas mereka–yang menjadi ciri khas sekolah pelayaran itu selama ini–harus diubah di tangan Pak Bandi.
Siapa yang hendak disalahkan di sini? Tentu para alumni tidak akan terima jika sekolah kebanggaan mereka berubah seratus persen dari binaan mereka. Terus Aditya dan teman-temannya bisa apa? Mereka diancam akan dikeluarkan jika melakukan perlawanan.
Namun, tak berpikir panjang lagi, Aditya maupun yang lainnya sepakat akan melakukan pemberontakan untuk mengusir Pak Bandi dari sekolah. Tak peduli lagi apa yang menjadi konsekuensi dari tindakan itu.
Dari jam istirahat hingga berlanjut ke jam pelajaran berikutnya–Instruktur matematika itu berhalangan datang mengajar–mereka gunakan untuk bermusyawarah. Berbagai macam ide yang keluar dari kepala teman-teman Aditya. Namun, tidak mendapatkan suatu mufakat. Sepertinya memang tidak ada jalan.
* * *
Tak menyerah rupanya. Karena musyawarah tadi siang tak berujung sebuah mufakat, maka mereka bersikeras untuk membicarakan permasalahan itu dengan Pak Dimas. Meskipun harus melawan ketakutan. Iya, mendatangi Pak Dimas yang selaku perwira batalion dengan julukan perwira yang kejam dan tegas, bukanlah perkara mudah.
Aditya jadi gugup duluan, tetapi demi kebaikan semua, demi kelanjutan tradisi, mereka bersikukuh memilih jalan itu, jalan satu-satunya agar permasalahan di sekolah segera berakhir.
* * *
Aditya gemetar ketika berada tepat di muka pintu. Benar, dia tidak sendirian. Namun, tetap saja ia gugup tak tertahankan. Waswas ia mengetuk pintu.
"Eh, Aditya dan...!" ucap Bu Irma–istri dari Pak Dimas–terputus begitu saja. Ia kemudian memperhatikan Aditya dan yang lainnya. "Ada apa?" lanjutnya dengan ekspresi kebinguangan.
"Emm... ini, Bu. Kami mau... ketemu sama Bapak." jawab Aditya gugup.
"Ow, masuklah!" Ibu Irma sedikit mengangguk dan tersenyum. "Aku panggil Bapak dulu," lanjutnya lalu melangkah masuk.
"Iya, Bu. Terima kasih!" Aditya dan teman-temannya lantas memasuki ruang tamu asrama perwira batalion itu.
"Widih!!! Aditya dan kawan-kawan, ada apa?" sapa Pak Dimas penuh canda.
"I...ya, Pak!" jawab Aditya
"Iya, ada apa?" Pak Dimas bertanya dengan lebih bersungguh-sungguh. Dia tahu, kedatangan taruna-taruna itu bukanlah kunjungan biasa. Jangankan berkunjung, berpapasan saja taruna itu segan.
Aditya dan teman-temannya masih terdiam kaku. Tidak ada yang berani menjawab. Biar seorang pun.
"Ayo!!!" Pak Dimas lagi-lagi memompa. "Kedatangan kalian pasti ada maksud yang besar, kan?" lanjutnya lebih serius lagi.
"I...ya, Pak! Kami ke sini untuk meminta pendapat bapak." Aditya lalu terdiam.
Perwira batalion itu sungguh penasaran. Ekspresi yang ia tampilkan seakan meminta agar Aditya bisa menjelaskan sepenuhnya dengan santai.
"Kami mau bertanya tentang apa yang harus kami lakukan untuk kesejahteraan di sekolah, Pak. Jujur kami sangat tertekan! Tidak tau arah. Apa yang telah diajarkan senior dan seharusnya kami ajarkan kepada adik junior kami, semuanya harus kami ubah." Bibir Aditya bergetar saat menuturkan semua itu.
Pak Dimas terdiam beberapa saat dan suasana kembali hening. "Aku mengerti apa yang ada dalam pikiran kalian. Aku juga tau apa yang kalian inginkan, dan aku sangat paham apa yang sebenarnya terjadi di sekolah." Pak Dimas lalu kembali terdiam. Sambil berpikir, pandangannya tertuju ke langit-langit. "Iya," sambungnya. Dan kemudian menarik ulur napas yang agak panjang. "Saat ini saya percayakan masalah ini kepada kalian. Apa pun tindakan kalian, selama tujuannya baik, aku ada di belakang memantau."
Semuanya terdiam, tak sepatah kata pun yang meluncur. Seakan tempat itu berubah menjadi tempat bersemadi saja.
"Baiklah!" Pak Dimas akhirnya kembali memecahkan ketenangan itu. "Apa pun yang menurut kalian baik dan dapat kalian pertanggungjawabkan, aku akan selalu mendukung. Lakukanlah yang terbaik!" lanjutnya meyakinkan.
"Baik, Pak! Terima kasih!" kata Viki–yang hari ini sebagai pejabat komandan Batalion (danion)– juga sedari tadi ikut terdiam, kaku.
"Kalau begitu, kami mohon pamit, Pak!" sambung Aditya pula, dan kemudian semuanya berdiri dan berpamitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Sailor
General FictionSebagian cerita hanya bisa dibaca oleh pengikut saya. Jadi kalau mau baca cerita secara keseluruhan jangan lupa untuk meng-follow saya terlebih dahulu. Dari kecil, Aditya tidak pernah puas akan pendidikannya. Semangat untuk bersekolah selalu dipata...