Sang mentari baru saja kembali ke peraduan. Menyisakan semburat jingga menembus rimbun daun pohon mangga yang tumbuh menjulang di pinggir halaman. Dua tiga ekor ayam berjalan-jalan di sekitaran, mengisi kekosongan.
Telepon dengan layar hitam putih bergetar di atas meja. Vina, nama kontak yang tertera pada layar. Tanpa membuang waktu, Aditya sigap menjawab.
"Halo!"
"Iya," jawab Vina di seberang.
"Tidak biasa-biasanya kau menelepon, sore begini?" Aditya berlagak pura-pura penasaran.
"Tidak ada. Emang enggak boleh, ya?"
"Boleh, sih, tapi rasanya ada yang aneh. Aku khawatir kalau kau rindu sama aku." Aditya tertawa geli.
Terdengar Vina juga ikut tertawa di seberang, "Benar, kok!" Vina kembali tertawa. "Kak, boleh minta tolong?"
"Boleh. Apa?"
"Antar aku ke rumahnya Yory."
"Boleh. Kapan?"
"Besok malam."
"Boleh. Jam berapa?"
"Sekitar jam tujuh."
"Iya, insya Allah kalau tidak ada halangan."
....
Tanpa mereka sadari, hampir satu jam lamanya mereka bergurau. Hilang semua beban di dada. Tersisa getaran cinta. Aditya sendiri tidak tahu mengapa, ia merasa nyaman saat mendengar suara Vina. Sekalipun itu melalui telepon. Gilanya lagi, dia sering merasakan bisikan batin bahwa Vina telah suka dengannya.
* * *
Ting-ting!
Aditya kembali mendengar nada pesan masuk di teleponnya. Ia kemudian membuka sms itu.
From: Viki
"Saudara-saudaraku, Perwira Batalion memanggil kita ke asramanya. Kita berkumpul di dekat sekolah jam tujuh entar malam. Oke? "
"Dafah ada sm dari Viki, nih!"
"Aku juga dapat, keles!" Dafah tertawa pelan.
Sungguh membuat Aditya malas mendengarkan jawaban seperti itu. Aditya kembali menikmati senja.
"Cie... yang lagi ngambek," ejek Dafah kemudian.
* * *
Tidak berselang lama saling menunggu, taruna-taruni itu telah lengkap terkumpul. Aditya melirik jam tangannya. Jarum pendek tepat menunjukkan pukul tujuh lewat lima belas menit tiga puluh detik. "Sudah hadir semua, kan?"
"Iya," jawab Viki sambil memindai teman-temannya satu-satu.
Tanpa membuang waktu lagi mereka melanjutkan perjalanan ke asrama perwira batalion itu.
Karena suara motor menggema, Pak Dimas keluar dan menampakkan senyum lebarnya. Ia berdiri tepat di dekat pintu. Senyumnya seperti membawa berita kebahagiaan.
"Selamat malam, Pak!" Suara yang diucapkan masing-masing taruna dan taruni. Tak lupa mereka memberi hormat ketika berjalan ke dekat Pak Dimas.
"Ayo masuk semua," ajak Pak Dimas. "Puah-puah! Aku salut, kalian begitu hebat. Aku sendiri belum pernah membantah perintah Kepala Yayasan, tapi kalian .... Melihat aksi kalian, aku tak bisa berkata apa-apa lagi."
"Ah, bapak," ujar Viki disertai tawa segan. Namun, ia berusaha membuat suasana itu menjadi sesantai mungkin.
"Memang benar! Tadi aku khawatir kalau kalian akan terjatuh di depan kelas. Aku seperti menonton atraksi pemain motor GP," puji Pak Dimas sekali lagi. "Kebersamaan kalian memang tidak diragukan lagi, tapi ingat! Kalian harus ingat ini baik-baik! Suatu saat ilmu pramuka itu akan berguna buat kalian," lanjutnya memberi nasehat. "Jadi bagaimanapun, minta maaflah kepada Pak Bandi! Beliau adalah guru kalian. Yang namanya guru perannya sama dengan orang tua kalian di rumah. Orang tua kalian di sekolah adalah guru. Kalau guru kalian murka, itu artinya Allah pun akan murka. Misalnya, kalian tidak jadi dikeluarkan dari sekolah. Aku harap agar kalian berbaikan lagi dengan Pak Bandi."
"Iya, Pak. Kami juga minta maaf dengan tindakan kami tadi siang, Pak!" Aditya mencoba membuka mulut yang sedari tadi terdiam kaku. "Kami tidak benci sama Beliau. Kami juga suka program pramuka di sekolah, Pak! Tapi, kami hanya tidak mau tradisi dimusnahkan dan berdasar dengan aturan yang dibuat oleh Beliau."
"Iya aku tau itu, dan menurutku kalian tidak salah! Semoga tindakan ini membawa perubahan," jelas Pak Dimas kemudian tersenyum hangat.
Setelah hampir 30 menit mereka berbincang-bincang di ruangan itu. Ada hikmah di balik semuanya. Jalinan antara taruna-taruni dan perwira batalion pun tidak lagi canggung seperti sebelumnya.
"Baiklah, Pak." kata Aditya. "Saya rasa sudah cukup sampai di sini dulu. Terima kasih atas waktunya. Kami mohon pamit pulang."
"Iya! Tetap tunggu informasi. Akan kuusahakan agar kalian tetap masuk sekolah secepatnya," jelas Pak Dimas sambil berdiri. "Oh iya jika kalian masuk sekolah nanti, tetaplah meminta maaf kepada Beliau!" lanjut perwira batalion mengingatkan.
"Iya, Pak!" balas Viki. "Terima kasih bayak, Pak! Kalau begitu, kami mohon pamit!"
Mereka berpamitan danpulang ke rumah masing-masing. Terlihat perasaan lega menghiasi masing-masing.Sorot wajah yang tadinya cemas, saat ini kembali berbinar penuh cahayakebahagiaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Sailor
General FictionSebagian cerita hanya bisa dibaca oleh pengikut saya. Jadi kalau mau baca cerita secara keseluruhan jangan lupa untuk meng-follow saya terlebih dahulu. Dari kecil, Aditya tidak pernah puas akan pendidikannya. Semangat untuk bersekolah selalu dipata...