Hujan

592 45 35
                                    

Di lantai tiga salah satu tempat nongkrong di sekolah itu, Aditya berbaring telentang. Langit tampak murung. Tak satu pun benda langit menampakkan diri. Sinar rembulan malam ketujuhbelas juga bersembunyi di balik awan, membawa air hujan yang siap diguyurkan.

Dalam kesendirian, Aditya kemudian tersenyum. Kejadian pemberontakan benar-benar membuatnya puas. Terusir dari sekolah bukanlah perkara kecil yang pernah ia alami. Bayangan pulang ke rumah dengan alasan memberontak, tidak pernah terpikir olehnya. Tentu akan menciptakan kekecewaan yang besar bagi kedua orang tuanya. Untunglah kejadian itu tidak diketahui oleh Puang Aleng dan Daeng Tata.

Tak lama kemudian, sambil menyaksikan cahaya rembulan yang kembali muncul menepis lapisan awan. Lagi dan lagi ingatan itu teralih pada kejadian kemarin malam, di Taman Bunga, saat Aditya dan Vina pulang dari kediaman neneknya Yory.

"Vina, kita singga sebentar, ya?" Aditya meminggirkan motor itu dengan hati-hati.

"Udah tengah malam, Kak!" jawab Vina yang kemudian turun dari motro dengan hati-hati.

"Sebentar aja, kok." Aditya mengedarkan pandangannya dan terhenti pada salah satu gerobak penjual di pinggir jalan. "Vin, aku haus pesan jus, yuk!"

"Ada uang?" tanya Vina sambil tersenyum. "Aku tidak ada loh, Kak!" Vina lalu tertawa malu.

"Ada," jawab Aditya. "Aku juga mau beli rokok."

"Kakak merokok?" Vina mengerutkan kening. "Masa masih sekolah sudah merokok? Ngabisin duit orang tua, tau."

"Ah, aku udah merokok sejak di Malaysia dulu. Mama tau kalau aku merokok," jelas Aditya. "Sudahlah, tidak usah dipermasalahkan. Yuk, kita ke penjual!"

Vina hanya tersenyum sendu dan berjalan di belakang Aditya.

"Vin, mau yang mana?" tanya Aditya sambil menyodorkan menu minuman dingin yang tersedia.

Vina meraih menu itu di tangan Aditya. Sebentar kemudian ia mengembalikan menu itu ke penjualnya seraya berkata, "Bu, yang jus alpukat satu," Vina lantas mengarahkan pandangan ke Aditya. "Kak, mau minum apa?"

"Samain aja," jawab Aditya, "Bu, rokok sempurna juga satu," lajutnya.

Motor yang distandar dua menjadi pilihan utama bagi Aditya untuk menikmati nikotin di setiap epulan bola-bola asap yang keluar dengan lembut dari mulutnya. Perhatian mata coklat itu berpusat kepada si gadis yang sedang menunggui pesanan. Kau cantik malam ini. Aditya tersenyum sendiri lalu menyesap dalam batang rokok itu.

"Kak, ini!" Vina menyodorkan segelas jus alpukat kepada Aditya. "Baru kali ini aku melihat Kakak merokok."

"Oh, itu karena di rumah ada Kiki," jawab Aditya.

"Kenapa emang?"

"Kak Farah, dulu pernah bilang, jangan merokok di dekat Kiki," jelas Aditya. "Lagi pula, aku tidak sering-sering amat merokoknya."

"Yeh, aku tidak percaya, namanya perokok, pasti tidak akan bisa menahan diri untuk merokok," tandas Vina.

"Bener, aku merokok jika di waktu-waktu tertentu saja." Aditya tersenyum manis. "Di saat seperti ini misalnya."

"Emang ada apa sekarang?"

"Mungkin moment ini, biasa bagimu. Tapi, tidak bagiku." Aditya mengembuskan napasnya pelan. "Dan, mungkin ini bukanlah waktu yang tepat, tapi apa pun jawabanmu aku sudah siap." Aditya kembali menghela napas lebih dalam. "Vina aku suka sama kamu," lanjutnya dan disambung dengan embusan napas panjang.

Vina menganga, tidak bisa ia menjawab. Jus alpukat di tangannya, goyang. Lemas jemari-jemarinya. Mendengar perihal itu, lama pandangannya tertekur ke bumi. "Maaf, Kak!" Ia kemudian menghela napas lebih dalam. "Aku tidak bisa."

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang