Sepanjang perjalanan Vijay mengikuti jejak motor yang dikendarai Dafah. Setelah sepuluh menit dari pertigaan, Dafah menghentikan motornya di depan pintu pagar. Rumah itu terlihat sederhana, di depannya dipenuhi dengan tanaman hias berwarna-warni. Subur dan terawat. Terasa sejuk mata memandangi.
Dari arah pintu, seorang perempuan belasan tahun berdiri. Ia mengenakan seragam sekolah, pramuka. Terlihat kebingungan di wajahnya. Siapa, ya? tanya gadis itu.
Di belakang Vijay, Aditya melirik anak gadis tersebut. Tidak berkedip matanya beberapa saat.
Dafah kemudian turun dari motor sambil membuka helemnya. "Ada Daeng Sulham?"
"Ada di dalam." Gadis itu menyunggingkan senyum manis yang ia miliki. "Aku panggilkan, ya!" Gadis itu lalu masuk.
Sejak dari tadi Aditya hanya terdiam. Setiap gerak-gerik gadis itu ia perhatikan dengan lena. Benar-benar ada sesuatu yang tak dapat ia simpulkan tentang perasaannya.
"Dafah, masuk dulu!" panggil seorang lelaki paruh baya itu yang berdiri tepat di muka pintu.
"Iya, Daeng!" jawab Dafah yang masih di luar pagar. "Ini, temanku yang cari kontrakan.
"Ow, iya sebentar. Masuk dululah!" panggil Daeng Sulham sekali lagi.
"Enggak usah, Daeng. Kami buru-buru, soalnya."
"Ow, kalau begitu tunggu dulu, ya! Aku ambil kuncinya.
Sejauh mata berkeliling. Rumah kontrakan itu tak bercacat sedikit pun. Cukup sederhana. Keberadaan kamar mandi di antara kedua kamar tempat tidur, memperlihatkan desain yang cukup kreatif.
"Daeng berapa setahun?" Vijay akhirnya bersuara, setelah ia memeriksa setiap sudutnya.
"Dua juta, Dek!" Daeng Sulham tersenyum sambil melirik ke arah Dafah. "Dafah, gomong-ngomong, pindah ke mana pamanmu?"
"Ke Kolaka, Daeng."
"Sepupu-sepupumu juga ikut ke sana?"
"Iya, Daeng, tapi yang masih SMP kelas tiga, dia tinggal di rumah sekarang. Mungkin setelah lulus dia juga akan menyusul ke sana.
Daeng Sulham mengangguk dan menyimak. "Aku pikir, dia yang mau balik. Tau-taunya dia bilang, temanmu."
"Iya, Daeng! Kemarin aku yang suruh dia, nanyain."
"Daeng!" panggil Vijay sambil mengintip ke dalam kamar mandi. "Enggak bisa kurang?"
"Wah, kalau masalah harga, aku enggak bisa ngurangin, Dek. Itu sudah harga kawan sebenarnya." Daeng Sulham tertawa pelan. "Rumah di sebelah malah tiga juta loh, Dek."
Vijay pun tersenyum sambil melirik ke Aditya. "Dit, gimana?"
Aditya juga tersenyum. "Aku suka."
Jelas! Aditya langsung suka tempat itu. Bukan sekedar rumahnya saja, tetapi ada yang lain. Dari tadi pandangannya terus teralih ke depan sana. Seakan ada kutub magnet yang menariknya.
"Jadi bagaimana, dil?" Vijay kembali tersenyum hangat.
"Keputusannya boleh sebentar malam, Daeng?" Aditya kemudian mengarahkan pandangannya kepada Daeng Sulham.
"Boleh," jawab Daeng Sulham. "Oyah, ambil nomor HP-ku kalau begitu. Nanti tinggal sms, jadi atau tidaknya." Daeng Sulham menyodorkan teleponnya kepada Vijay.
"Iya, Deng." Vijay pun mengambil dan menyalin nomor kontak yang tertera di layar.
* * *
Selesai apel siang, Aditya langsung ke tempat duduknya. Bahagia sekali perasaannya hari ini, lantaran tadi pagi seusai memeriksa rumah kontrakan. Ia menghubungi orangtuanya. Dan, harapannya pun terpenuhi. Puang Aleng hanya meminta waktu paling kurang tiga hari untuk mengusahakan uang.
Seusai menelpon, Aditya langsung memberitahukan kabar itu kepada tantenya. Tantenya pun tak dapat menolak. Walau sempat ia bersedih. Namun, tak ada gunanya memaksa Aditya untuk tinggal. Ia tahu persis karakter Aditya dari dulu lagi. Dan, telah ia rasakan sendiri selama Aditya tinggal bersamanya beberapa hari ini.
Dari arah pintu Vijay menebar senyumnya ke sembarangan. Ia langsung membuang tasnya di dekat kursi Aditya seraya berkata, "Dit, bagaimana? Jadi?"
Aditya tersenyum simpul sambil mengangguk sekali.
"Yang benar, nih! Aku SMS Daeng Sulham kalau gitu, ya!"
"Iya! Emang kau bawa HP?"
"Iya, kan mau SMS?"
Aditya mengangguk saja. "Ya udah, sms sekarang, baru matikan HP-nya!" Selama di dalam kelas, tak satu pun yang diizinkan mengaktifkan telepon. Begitulah aturan yang berlaku di sekolah.
Selain Aditya, Vijay pun terlihat begitu senang. Dengan penuh semangat ia menulis SMS itu. "Udah, Dit!" ucapnya setelah ia mengirim pesannya.
"Ya udah matikan HP-nya!"
"Santai aja kali, Dit!" Kembali terurai senyum hangat di wajah Vijay. "Aku silent, kok!"
"Dafah ke mana, ya?"
"Di lapangan." Vijay kemudian tersenyum. "Lagi dihukum. Dia sama Bima. Semalam mereka telat jaga malam."
"Ow...." Aditya juga tersenyum. Ia pun tahu ganjaran itu. Setiap taruna-taruni yang telat atau tidak hadir dalam jaga malam, hukumannya sama. Lari di lapangan sebanyak 50 putaran bagi taruna yang tidak hadir dan 25 putaran bagi taruna yang terlambat. Hukuman itu pun sama jika ada taruna yang alpa dan telat apel siang.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Sailor
Genel KurguSebagian cerita hanya bisa dibaca oleh pengikut saya. Jadi kalau mau baca cerita secara keseluruhan jangan lupa untuk meng-follow saya terlebih dahulu. Dari kecil, Aditya tidak pernah puas akan pendidikannya. Semangat untuk bersekolah selalu dipata...