Kapal PLNI

451 26 12
                                    

Aditya duduk termenung di teras sendirian. Penghuni kost yang lain sibuk dengan urusannya masing-masing: ada yang kuliah, ada yang pergi subuh dan pulang malam, entah kerja entah ke mana? Semuanya sibuk dengan dengan dunianya sendiri. Imang pun juga demikian.

Banyak hal yang memenuhi pikiran Aditya. Kadang ingatannya, tertuju kepada keluarganya yang telah banyak menaruh harapan kepadanya, kadang teringat dengan janji ibu Helena, kadang pula teringat janji agen kapal pesiar itu, dan janji mereka hanyalah janji dan janji; tidak ada kepastian. Semakin resah jika ia teringat dengan Ardi yang sebentar lagi akan membutuhkan uangnya. Dia benar-benar terbebani dengan keadaan yang menimpanya. Ia butuh kepastian, sehingga ia ke bawah; ke sebuah kios kecil yang ada di depan kontrakan itu dengan tujuan membeli pulsa agar ia bisa mencari kejelasan dari semuanya.

* * *

Setibanya dari penjual pulsa, ia langsung duduk di tempat tidurnya lalu mengacak-acak kontak teleponnya. Banyak nomor yang ingin dia telepon, bahkan ia tidak tahu hendak menelpon yang mana terlebih dahulu sehingga pada akhirnya ia meyakinkan diri untuk menelepon Pak Budi 'agen jakarta itu' terlebih dahulu.

"Halo, Dek!" jawab Pak Budi di seberang telepon. Kebetulan sekali ia mengangkat telepon itu hanya dengan dua kali deringan.

"Iya, Pak. Apa ada kabar dari kantor, Pak?" tanya Aditya.

"Ini, Dek! Masih belum sempat User itu datang ke Indonesia, Adek bisa menunggu lagi 'kan?"

"Iyalah, Pak! Saya akan tunggu kabarnya," jawab Aditya. "Baiklah, Pak! Terima kasih banyak atas informasinya. Assalamualaikum!" lanjut Aditya dan memutuskan panggilan itu tanpa menunggu pak Budi membalas salamnya.

Ia berpindah duduk di kursi. Kursi satu-satunya yang ada di kamar kost Imang. Aditya membiarkan kedua tangannya menyangga di meja yang ada di depannya. Tidak terlalu lama ia, berdiam di meja itu. Ia kembali mengacak kontak HP-nya dan berhenti di salah satu nomor. Nomor itulah yang menjadi awal dari masalah Aditya saat ini. Tidak lagi menunggu lama ia langsung menekan tombol panggilnya.

"Halo, Adek!" jawab Ibu Helena saat panggilan itu tersambung. Ia memulai pembicaraan dengan cukup terdengar bersahabat.

"Iya, Bu!" jawab Aditya. "Bu, saya sudah lebih dari dua bulan di sini, dan pekerjaan yang Ibu janjikan ke saya, belum ada juga kepastian. Maka dari itu, saya akan pulang dan akan mengambil uang saya kembali." Aditya terdiam beberapa saat. "Bisa, kan Bu?"

"Bisa, Dek!" jawab Ibu Helena. "Sebenarnya saya juga tidak mengerti, ada apa degan urusan, Pak Budi di sana. Namun, mengenai uang Adek. Jangan khawatir! Uang yang Adek simpan di sini akan kami kembalikan, utuh!"

"Terima kasih banyak, Bu." Aditya kegirangan dalam hati mendengar jawaban Ibu Helena.

"Iya, sama-sama, Adek! Saya juga meminta maaf, dan kapan pulang ke Makassar?"

"Rencana, besok atau lusa, Bu!"

"Oh, iya. Kalau sudah di Makassar langsung hubungi Ibu supaya uang yang Adek kehendaki bisa langsung Ibu siapkan di rumah."

"Terima kasih, Bu. Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam!" jawab Ibu Helena, dan sambungan telepon itu terputus setelah beberapa saat kemudian.

Cukup lega Aditya mendengar pernyataan Ibu Helena, dan berharap penuh agar kenyataannya nanti akan seperti yang ia rasakan saat ini. Mulailah Ia bersemangat kembali. "Sepertinya aku harus menelepon mama dulu, sepertinya uangku di rekening hampir habis," kata Aditya sendirinya.

"Halo, Kak! Bagaimanami kabarta di sana?" kata Riani di seberang telepon tentunya dengan logat Sinjai dan Makassar yang dipadukan. Riani adalah Adik kandung Aditya.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang