Kehancuran

531 46 32
                                    

Di saat Aditya mematikan panggilan teleponnya ke Vina kemarin, kapal itu pun berlayar mengarungi samudra biru menuju pelabuhan Lahaddato selama seminggu. Dalam perjalanan itu, ia seperti hidup dalam kematian, tidak ada gairah sama sekali.

Hidup segan mati tak mau; seakan sudah tidak ada lagi harapan, tidak ada lagi cita-cita dalam hati. Namun, apalah yang hendak dia kata.

"Ya, Allah! Aku tidak sanggup! Tidak adakah jalan yang lain? Aku mohon ya, Allah! Satukan kami kembali." Aditya memohon dan berharap agar ia bisa bersama dengan Vina kembali.

* * *

Kapal itu, akan sandar di pelabuhan Lahaddato. Pelabuhan yang teramat indah. Air laut yang jernih. Ikan-ikan dapat terlihat dengan jelas dari dalam air. Namun, semua itu tidak dapat lagi menghibur Aditya, tidak dapat lagi menyejukkan hatinya seperti semula. Pikirannya hanya tertuju dengan pengkhianatan kekasihnya. Kekasih yang selama ini ia sanjung-sanjung, ia damba-dambakan. Namun, apalah daya, dia telah memilih orang lain.

Sampai saat ini, ia masih belum sanggup menerima kenyataan: jika ia akan hidup dan menjalani hari-harinya tanpa Vina. Membayangkan saja ia tidak pernah, apatah lagi harus memaksakan diri untuk menerima kenyataan, kalau kekasihnya telah ia lepas.

"Ya, Allah! Mengapa nasibku seperti ini; mengapa saat aku sangat mencintai seseorang malah Engkau biarkan ia berlalu, apakah menurut-Mu dia tidaklah baik untukku? Ya, Allah! Aku tidak mengerti, sungguh aku tidak mengerti dengan jalan takdir yang Engkau gariskan untukku."

Di sore hari itu, Cahaya kemegah-megahan masih terpancar dan menembus dinding anjungan. Kapal itu sandar di dermaga dengan sempurna yang kebetulan kemudi dikendalikan oleh Aditya, dan atas perintah sang Kapten. Setelah tugasnya di anjungan selesai, bergegas ia turun ke palka (tempat muatan) untuk membantu teman-temannya membuka lasingan (pengikat) muatan.

Untung saja, setelah membuka lasingan muatan itu, jam jaganya pun berakhir. Ia digantikan oleh temannya yang lain. Dan langsung ia ke darat untuk membeli kredit (pulsa) agar ia bisa menelpon Vina. Ia berniat untuk memperbaiki hubungannya kembali. Tidak lagi dia memedulikan gengsinya, tidak lagi menghiraukan egonya. 

"Aku membutuhkannya, aku menginginkannya, aku mencintainya dan aku teramat menyayangi dia. Maka dari itu, aku harus memperbaiki hubungan ini. Aku tidak ingin lagi mengingat-ingat kejadian kemarin. Aku harus memerhatikan kelanjutan hidupku, walau harus menjilat ludah. Memang benar adanya kalau aku tidak sanggup hidup tanpa Vina. Ini menyangkut antara hidup dan matiku." katanya sendiri dalam perjalanan menuju kedai.

Tidaklah terlalu lama berjalan menuju kedai penjual kredit. Kemudian dibelinyalah sekeping kartu kredit dengan saldo 50 ringgit agar ia bisa berlama-lama menelepon Vina. Begitulah niatnya, walau bagaimanapun yang telah terjadi Aditya tetap saja menganggap Vina sebagai kekasihnya.

Tidak lagi ia menghiraukan keadaan kamarnya yang berantakan laksana kapal pecah, bahkan ia masih lelah karena berjalan kaki dari dermaga ke kedai yang jaraknya lumayan jauh. Sekali diusap kunci telepon itu lalu dia ketik nomor Vina secepatnya yang memang telah menyatu dengan pikirannya.

Tuuut, tuuut, tuuut. Bunyi tanda sambungan telpon yang terhubung.

"Hallo." Suara laki-laki yang menjawab. Suara itu terdengar berat seperti orang yang baru saja bangun dari tidurnya, tetapi kalaupun ia baru bangun .... Mengapa ada anak muda yang tidur di kala magrib, padahal itu pamali -menurut orang tua Aditya- biasa ada kejadian aneh yang menimpa. Namun, Aditya tidak menghiraukan itu. "Siapa lelaki ini? Kok bisa suara lelaki?" tanyanya dalam hati.

"Maaf, ini siapa?" tanya Aditya penasaran.

"Ini Randi, pacarnya Vina," jawabnya.

"Oh ya...? Vinanya ke mana?"

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang