Mentari telah beranjak naik. Panasnya pun menembus atap. Kamar yang ukuran sedang itu membuat anak muda itu berkeringat. Namun, ia tidak peduli, bahkan ia tetap tertidur seakan tidak ada beban dalam hidupnya.
"He eh... matinro sikko Adit... (he eh... kau tidur lagi Adit...)!" kata ibunya sambil menyapu di depan ranjangnya. Namun, Aditya tidak menghiraukannya. Ia, tetap saja menutup matanya walau sebenarnya ia mendengar.
Seketika telepon yang diletakkan di atas meja itu berdering.
Ibunya yang masih saja membereskan buku-buku yang ada di meja itu, tersentak seraya berkata, "Adit... aro taliponmu muniki. (Adit... itu teleponmu berdering)!" sahut ibunya, tetapi ia tidak berani menyentuh HP itu.
"Iga, Mak (Siapa, Mah)?" tanya Aditya yang berusaha mengangkat kepalanya. "Tabe, Mak, tarengnga gare talipongku (Mah, minta teleponku)," lanjutnya sambil mengulurkan tangan. Dan, matanya masih tertutup rapat.
"Hem...." gumam ibunya sambil memberikan telepon itu.
"Eh, Dafah?" Aditya hanya membuka sebelah matanya, dan langsung menjawab telepon itu, "Halo!"
"Dit!" jawab Dafah di seberang? "Kamu belum bangun?"
"Udah, tapi tidur balik."
"Hem..." Nadanya mengejek. "Kenapa tidak kau pigi urus sapi?" Dafah tau kalau Aditya punya peternakan. Dulu ia sering main ke rumah Aditya, saat masih sekolah. Kadang dia menjemput Aditya saat hari Minggu sore.
"Udah tadi," jawab Aditya,"tumben kau nelepon?"
"Oh, tidak, ji!" kata Dafa lalu tertawa kecil. "Adit, aku mau ngasih tau sesuatu yang penting, tapi jangan kaget, ya!"
"Biasa aja kali, Fah!" Aditya ikut tertawa kecil. "Emang siapa juga yang mau kaget?"
"Siapa tau aja, kan?"
"Terus apa?" Aditya jadi penasaran juga.
"Ini, Dit," Dafah terdiam sejenak. "Bulan depan aku mau nikah?"
"Ha...?"
"Katanya tidak mau kaget?"
"Bukan kaget sih, Fah," Aditya lagi-lagi tertawa pelan, "tapi ini... aku merasa ada yang aneh? Kok tiba-tiba kalian mau nikah?" Aditya lalu terdiam sejenak. "Jangan-jangan ...!"
"Jangan-jangan apa?"
"Tidak!" Aditya kembali tertawa kecil. "Menikah ajalah?"
"Aku tau, kalau kau akan terkejut, Dit!" kata Dafah. Ada tawa kecil yang juga terdengar. "Sebenarnya udah lama aku mau ngasih tau, tapi aku takut kalau lamaranku tidak diterima," Dafah menghela nafas lalu melanjutkan, "kemarin kelargaku telah datang melamar Nairah, dan Alhamdulillah diterima."
"Terus, kamu di mana sekarang?" tanya Aditya sedikit memburu, "bukannya kau masih di Bungku?"
"Iya, aku masih di kapal sekarang."
"Jadi, kapan kau balik, dan kapan acaranya?"
"Rencana balik besok, dan rencana pernikahannya tanggal 15, Januari."
"O..." Aditya menyimak sambil tersenyum bahagia mendengar kabar itu. "Kenapa bukan di malam tahun baru saja!"
"Ah, kan kita mau reoni-an dulu."
"O... iya, ya!" Aditya kemudian tersenyum.
"Fah, tapi naira aman-aman aja, kan?"
"Apaan sih, Dit!" balas Dafah, "kamu kok curigaan banget. Bukannya semenjak aku dari Jakarta aku langsung ke sini. Dan, ini sudah hampir setahun saya di sini, Dit!"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Sailor
Ficção GeralSebagian cerita hanya bisa dibaca oleh pengikut saya. Jadi kalau mau baca cerita secara keseluruhan jangan lupa untuk meng-follow saya terlebih dahulu. Dari kecil, Aditya tidak pernah puas akan pendidikannya. Semangat untuk bersekolah selalu dipata...