Kursi Itu

536 40 23
                                    

Begitu banyak kenangan di atas kapal yang membuat Aditya berat meninggalkannya. Secara keseluruhan ABK KM RENNIA teramat sayang kepada Aditya. Seakan mereka tidak rela Aditya pulang. Namun karena masa layar yang sudah cukup, mau tak mau Aditya harus pulang demi kelanjutan sekolahnya.

Aditya pulang bersama kenangan dan pengalaman. Terlebih lagi dengan ilmu yang dititipkan oleh Kapten terhadapnya.

Dalam perjalanan pulang, ia tidak tahu mengapa yang ada dalam otaknya: hanya ada Vina dan Vina. Hanya gadis kecil itu di dalam pikiran Aditya. Vina telah mengubah aliran darah yang mengalir di kepalanya. Tersenyum sendiri saat ia berjalan di pinggiran Pelabuhan Bajoe yang cukup panjang dilaluinya. Terkadang langkahnya jadi pelan, kadang pula dibuatnya agak cepat. Begitu bahagia hatinya dan tak sabar ingin bertemu dengan si pujaan hati. Sembari mengingat kekasih hati, ia mengeluarkan teleponnya. "Mungkin Vina masih kuliah," kata Aditya sendiri.

Kali ini, Aditya memilih Dafah untuk menjemputnya. Ia kemudian mencari kontak telepon milik Dafah dan menekan tombol panggil.

"Dafah, kamu di mana?" ucap Aditya di telepon.

"Aku di rumah, kenapa?"

"Jemput aku di Pelabuhan."

"Kapan?"

"Sekarang!"

"Emang udah selesai praktiknya?"

"Iya, aku tunggu di jalan, ya!"

"Iya!" jawab Dafah dan panggilan itu kemudian berakhir begitu saja tanpa salam.

* * *

Sore ini, bahkan hampir saja matahari tak terlihat lagi. Namun, cahaya merah yang memantul dari ufuk barat memperindah suasana halaman rumah itu.

"Eh, si pelaut ulung sudah datang rupanya," sapa Pak Rahman–bapaknya Dafah–kepada Aditya yang baru turun dari motor.

"Om, bisa aja," balas Aditya dengan riang.

"Ayo masuk!" seru Pak Rahman yang kebetulan hendak ke tempat kerjanya juga.

"Iya, Om."

Di dalam ruang keluarga, Aditya berlari kecil dengan niat ke kamar mandi. Dia pun menemukan Ibu Seri–ibunya Dafah–di dapur. Ia sedang memasak. "Kapanki datang, Nak?" tanya Ibu Sri dengan nada mendayu ala logat Bugis Bone.

"Baru saja, Tante!" jawab Aditya singkat. "Tante, aku mau ke kamar kecil."

"Iya, masuk maki, Nak (iya masuk saja, Nak)!"

* * *

Tepat pukul 19:30, meja makan itu kembali dijadikan tempat menghidangkan makan malam oleh kedua sejawat itu.

"Adit... ke mana kita jalan-jalan setelah makan," tanya Dafah.

"Aduh!" jawab Aditya sambil mengangkat sebelah alisnya. "Sepertinya aku tidak bisa jalan sama kamu, Fah! Besok pagi-pagi sekali, aku akan pulang. Jadi malam ini, aku ingin ke tempatnya Vina. Bisa tidak?"

"Iya deh, pacarnya saja terus dipentingkan," ujar Dafah malas.

"Ya, kamu enak, tadi malam pasti sudah ketemu sama Nirah, kan?"

Dafah hanya tersenyum memandangi Aditya. Di lain sisi, ia juga kasihan melihat Aditya yang telah lama merindukan Vina.

"Aku pinjam motor, ya?"

"Emm!" Hanya itu jawaban Dafah.

* * *

Aku berdosa. Aku sadari itu. Sebegitu besarnya cintaku ke Vina. Seolah aku tidak bisa lagi mengingat orang lain selain Vina, gerutu Aditya dalam batin sambil memperhatikan jalan yang ia lalui. Mama maafkan anakmu yang tidak tau diri ini. Aku tau jika Mama sudah menunggu di rumah, tapi aku malah memilih singgah ke tempatnya Vina. Mama, bukannya aku sudah tidak sayang lagi sama Mama, tapi aku juga tidak bisa melawan inginku.

The Story of SailorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang