"Imang, sekarang aku ada di Jakarta," kata Aditya setelah panggilannya tersambung.
"Kapan lu sampai, dan Jakarta bagian mana?" tanya Imang di seberang.
"Jakarta apalah namanya ini, aku juga tidak tahu, Mang!"
"Baiklah! Coba lu tanya dulu sama orang dekat sana!"
Tanpa memutuskan panggilan itu, Aditya berbalik dan berjalan ke penjual yang ada di pinggiran jalan itu. "Pak, ini di daerah mana, yah?" tanyanya ke Bapak Penjual itu.
"Ini daerah Jakarta timur, Dek," jawab Bapak Penjual itu, "emang mau ke mana?"
"Saya mau ke rumah sepupu, Pak!"
"Di mana alamatnya?"
"Di Lenteng Agung, Pak!"
"O, itu Jakarta Selatan."
"Terima kasih, Pak!" kata Aditya "Saya kasi tau sepupu saya dulu." lanjutnya sambil memosisikan teleponnya di telinga kanannya. Sedikit menjauh ia dari penjual itu.
Penjual itu hanya mengangguk memberikan tanda setuju.
"Mang, kata penjual itu, 'ini daerah Jakarta Timur'," jelas Aditya, "Kamu tau, Mang?"
"O.., ya taulah." jawab Imang, "Di situ ada busway, 'gak?"
"Apa lagi yang dibilang busway, Mang?"
"Mobil bus, tau kan lu? Ada tulisannya 'busway' di samping."
"O..., besarnya kayak damri, ya?" tanya Aditya balik sambil mengarahkan pandangannya ke jalanan. "Iya ada, Mang. Mobilnya berwarna biru, bukan?" lanjutnya. Saat itu juga ada 'mobil bus' yang kebetulan lewat di depannya yang bertuliskan 'busway' di samping.
"Coba, ke haltenya dulu. Di situ kira-kira ada Halte busway, tidak?"
"Tidak tau juga?" jawab Aditya yang sedikit frustrasi. Bagaimana mungkin ia bisa mengetahui semua itu, sedangkan ia sendirian. Pertama kali ini lagi, dia di Jakarta dan harus dipaksakan untuk mengitari Ibu Kota. Namun, ia tidak menjadikan itu sebagai karena dia telah menjadi pemberani semenjak ia jadi pelaut. Seketika ia teringat masa-masanya jadi junior dahulu ....
"Coba tanya dulu sama orang di sana!" usul Imang yang juga khawatir tentang keselamatan sepupunya.
Aditya kembali lagi ke penjual tadi. Kali ini ia sedikit malu-malu. "Pak mohon maaf. Saya mau bertanya lagi," katanya berada di dekat penjual itu. "Halte busway di sini dekat enggak, Pak?"
"Itu, Dek." jawab Bapak Penjual itu sambil menunjuk ke arah halte yang ada di seberang jalan depannya. "Naiklah di tangga itu!
"O..., terima kasih banyak, Pak!" ucapnya lalu ia meninggalkan penjual itu. Kemudian ia memeriksa teleponnya yang ia pikir panggilannya sudah tidak terhubung lagi dengan Imang. Namun, Imang masih saja setia menunggunya di seberang.
"Mank! Bagaimana caranya naik mobil begitu?" tanya Aditya lagi.
"Ke Halte aja dulu! Di sana ada penjual kartu bus way. Beli satu!" Imang terdiam sejaenak. "Kemudian tanya langsung sama orang sana, bagaimana cara menggunakannya. Jangan lupa, minta petunjuk sama dia, bilang: saya mau turun di halte Kota Tua!"
Kemudian dibelinyalah sekeping 'kartu busway' itu, dan mengutarakan tujuannya ke pegawai halte.
Pegawai itu langsung memberinya sebuah kartu, kemudian ia memberikan catatan singkat; seperti peta perjalanan. Kemudian pegawai itu, mengajarkan cara menggunakan kartu itu, dan dijelaskannya pula mengenai peta yang ia berikan ke Aditya.
Aditya hanya mengangguk mengerti, walau yang sebenarnya ia tidak paham.
"Mang, bisa kamu jemput aku enggak?" tanya Aditya balik dalam telepon, yang telepon itu tidak pernah dimatikan sedari tadi, sedang Imang pun tetap menunggunya. Terkadang juga Imang tertawa kecil mendengar Aditya yang bertanya kiri dan kanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Sailor
Fiksi UmumSebagian cerita hanya bisa dibaca oleh pengikut saya. Jadi kalau mau baca cerita secara keseluruhan jangan lupa untuk meng-follow saya terlebih dahulu. Dari kecil, Aditya tidak pernah puas akan pendidikannya. Semangat untuk bersekolah selalu dipata...