Chapter 4

3.7K 279 41
                                    

Tokk.. tokk.. tokk..

"Habi! Ayo sarapan dulu," kata Ayahnya dari balik pintu.

Habibah hanya memandang pintu kamarnya dengan lekat-lekat. Ia masih belum bisa terima atas apa yang Ayahnya katakan semalam.

Habibah berjalan pelan menuju pintu, lalu membukanya perlahan. Pandangannya tertunduk, ia hanya dapat melihat kaki Ayahnya itu.

"Hei, sarapan dulu, abis itu Abuya antar ke sekolah, ya?" Kata Ayahnya yang lalu beranjak pergi dahuluan.

Habibah masih terdiam.

"Dapatkah aku menerimanya? Sudahlah," batinnya berbicara.

Habibah segera menghapus air matanya yang sempat mengalir lembut di pipinya, setelah itu ia beranjak ke ruang makan.

"Assalamulaikum, pagi non Habi," sapa Bibi nya itu.

"Iya Bi, waalaikumsallam," balasnya dengan senyum lebarnya. Topeng atas kesedihannya.

Ayah Habibah berjalan dan duduk tepat di sebrang Habibah.

"Ayo Habi, makan dulu," kata Ayahnya.

Habibah hanya mengangguk pelan dan tersenyum tipis.

Apakah semua perempuan seperti itu? Menggunakan topeng untuk kesedihannya?

Mereka sarapan dengan ditemani suara dentingan sendok dan garpu yang nyaring meciptakan keheningan dan tenggelam dalam pikiran masing-masing kedua belah pihak.

"Ayo Habi berangkat," kata Ayahnya.

Habibah masih terdiam, dan berjalan pelan mengekori Ayahnya.

Ayahnya pun mengendarai mobilnya segera mengantarkan Habibah ke sekolahnya.

"Habi?" Panggil Ayahnya ketika setengah perjalanan.

"Ya Abuya?"

"Kamu kenapa? Marah sama Abuya?" Tanya Ayahnya.

"Hm, tidak Abuya," katanya lirih.

"Jika kamu masih belum bisa nerima tante Zahra tak mengapa. Abuya memakluminya, Habi," kata Ayahnya. Terlihat jelas raut wajah Ayah nya itu berubah.

"Tidak Abuya, InshaAllah aku dapat menerimanya," kata Habibah dengan senyum lebar nya. Bohong!

"Ya! InshaAllah aku dapat menerimanya, demi Ayah," batin Habibah.

"Benarkah?"

"Iya Abuya, InshaAllah Habi bisa menerima kehadirannya," katanya, lirih.

Habibah membuang pandangannya ke arah jendela mobil serta sambil menahan desakan dari air matanya agar tidak keluar mengalir lembut di permukaan pipinya itu.

"Maafkan aku, Bunda."

"Kita sampai Habi," kata Ayahnya.

"Yauda Habi sekolah dulu ya Abuya, wassalamualikum Abuya," kata Habibah mencium punggung tangan Ayahnya. Segera ia membuka pintu mobilnya.

"Waalaikumsallam."

"Habi?" Panggil Ayah nya saat ia hendak turun. Sontak Habibah menoleh dan mengerutkan keningnya.

Habibah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang