"Eh eh eh!" Kata seorang pria yang sembari menutup hidungnya dengan kedua tangannya. "Gua bilang dari kemarin juga kalo ngerokok jangan deket gue!" Protes pria itu.
"Yaelah Za, bentaran doang, asem mulut gue nih," jawab Doni sembari menghisap rokok itu dalam-dalam.
"Sini sini sini!" Lelaki itu mengambil paksa rokok yang sedang dihisap kawannya, Doni. Dan langsung melemparnya jauh.
"Lagian lu mah Za, bandel tapi gak ngerokok. Payah," sambar Ali disebelahnya sambil terkekeh.
"Yeh, gua mah masih nurut sama ortu, gua gaboleh ngerokok. Tapi emangnya gue juga gak tertarik sama rokok sih ye!" Bantah Erza--nama lelaki tersebut yang membuang paksa rokok Doni.
"Yeh dasar, mami banget lo!" Ledek Tio, yang mengundang gelak tawa keempat sahabat itu.
"Eh eh eh!" Kata Doni, yang sontak semua sahabatnya itu memasang tampang penasaran.
"Kenapa?" Tanya ketiganya dengan kompak.
Dutttt...
"Ahh, lega, gue pengen buang angin," kata Doni sambil menarik panjang napasnya dan membuangnya secara perlahan. Lega rasanya.
"Anjir lo! Bau sialan!" Kata Erza, yang langsung menutup kedua hidungnya itu.
"Ah gila! Jorok banget sih lo, ga gua anggep sahabat aja lo, tau rasa," protes Ali.
"Ah mimpi apa gue dulu sampe gue punya temen sejorok lo Don," ucap Tio.
"Hahaha! Maap Bro maap," kata Doni tanpa merasa bersalah.
"Eh eh eh! Sini deh," kata Doni lagi.
"Kaga kaga kaga! Gue tendang lo kalo sampe kentut lagi!" Ancam Erza yang masih menutup kedua hidungnya dengan tangan.
"Nggak ego! Serius, itu liat yang baru masuk ke kantin. Anak baru, ya?" Tanya Doni penasaran.
Sontak ketiga sahabatnya itu menoleh ke arah pintu masuk kantin sekolahnya itu.
"Mana mana mana?" Tanya Ali penasaran. "Idih gile, bidadari ini mah gengs," kata Ali yang masih memperhatikan perempuan yang masuk ke kantin itu.
"Eh eh eh, ada yang lebih cantik dari bidadari gak?" Tanya Tio.
Semua mengerutkan keningnya, tidak paham.
"Gue rasa dia lebih dari bidadari man, gile. Liat tuh aduh, meleleh gue kalo semua anak perempuan sekolah kita kaya begini," katanya sembari terus melihat perempuan itu.
"Ah sialan lo! Udah ah, mending ngopi dulu gue, gapenting banget!" Kata Erza yang langusng menyuruput kopinya itu. Erza memang pencinta kopi.
"Ah payah lu, rejeki kok di tolak!" Kata Ali.
Erza tidak memperdulikannya.
Ketiganya saling bertatapan satu sama lain dan langsung menoleh menatap tajam ke Erza.
"Apa? Kenapa lo pada ngeliatin gue kaya gitu hah?" Tanya Erza yang masih dengan secarik kopi di tangannya itu.
"Lo homo, ya?" Tanya ketiga sahabat nya itu, dengan kompak.
Sontak Erza mecipratkan kopi yang baru diminumnya itu ke arah ketiga sahabatnya.
"Ah gila lo ya! Ya kali gue homo!" Protes Erza.
"Ah gilaaaa, baju gue kotorrrr!" Teriak Ali. Mungkin bukan hanya Ali, tetapi, Doni dan Tio pun mengalami hal yang serupa dengan Ali.
"Udeh udeh! Besok beli lagi, jan kek orang susah deh," kata Erza yang langsung meninggalkan ketiga sahabat nya itu.
Ketiga sahabatnya itu pun berdecak sebal dengan tingkah laku Erza. Sudah terbiasa tapinya.
*****
"Siapa dia?" Tanya Erza pada dirinya sendiri.
"Beda." Satu kata yang dipikirkan Erza tentang perempuan itu.
Erza terus berjalan di lorong-lorong sekolahnya, sembari memasukkan kedua tangannya di saku celananya.
Banyak yang memperhatikannya. Dia tetap dingin tidak memperdulikannya.
Parasnya tampan, jauh dari ketiga sahabatnya itu. Tak hanya itu, badannya pun ideal dan juga tinggi, alisnya yang tebal dan matanya yang tajam seakan dapat menghipnotis para kaum hawa di sekolahnya itu.
Tak sedikit yang menyukainya atau tertarik padanya. Namun dia tetap menghiraukannya, hingga mendapatkan pertanyaan-pertanyaan aneh dari ketiga sahabatnya itu.
Kringgggg...
Bel pertanda habis nya waktu istirahat pun berdering nyaring disatu sekolah ini.
"Sial!" Batin Erza, berdecak sebal karena sudah selesai istirahat.
"Hei hei hei! Erzaa?" Panggil seseorang dari belakang tubuhnya itu.
Erza pun membalikan badannya dan tepat sekali apa yang dipikirkannya. Yang memanggilnya adalah seorang guru.
Erza pun tersenyum miring ketika melihat papan kecil tepat diatas pintu.
"Teacher office."
Ia menghampiri guru tersebut. "Kenapa, Bu?" Tanyanya sopan.
"Bisa bantu Ibu?" Tanya guru tersebut. "Nanti tolong bawain barang-barang Ibu ke kelas 12 mipa 2, bisa?" Lanjutnya.
"Sial!" Ucap nya pelan.
"Apa?"
"Oh. Ngga, Bu. bisa kok Bu bisa, apasih yang ngga buat Ibu," kata Erza, terkekeh.
"Bisa aja kamu, sayangnya ibu gak akan naikan nilai kamu dengan kamu gombal ke ibu. Lagian Ibu juga udah tekbal dengan hal-hal yang seperti itu," katanya sambil terkekeh juga.
"Negative thinking deh nih Ibu!" Protes Erza. "Udah tau mau bantuin dengan ikhlas, tapi masih aja digituin. Baper dah saya, marah dah saya ke Ibu, huh!" Kata Erza kesal.
"Apasih kamu, udah cepet bawain!" Kata guru itu.
"Iya-iya, bu," kata Erza yang langsung mengambil barang bawaan bu. Ida terserbut. Iya nama guru barusan adalah bu. Ida, seorang guru bahasa Indonesia.
Erza pun mengekori guru itu dari belakangnya.
*****
"XII Mipa 2," jelas sekali tertera tulisan tersebut di atas pintu kelas itu.
"Erza, sini cepet yehh!" Kata bu Ida, sontak Erza pun langsung bergegas menaruh barang bawaan bu Ida itu.
Erza sempat melihat seisi ruangan kelas itu. Hingga matanya tertuju pada satu perempuan yang tidak begitu asing dilihatnya. Perempuan yang tadi di kantin ternyata ada di kelas ini.
Tunggu?
"Hey dia disini! Beruntung sekali kau za!" Batin nya.
Ia pun tidak bisa menahan senyuman yang terukir di wajahnya itu.
"Manis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Habibah
SpiritualMenceritakan seorang gadis remaja bernama Habibah Zafira Syahidiah mengenai kehidupan barunya tentang cara dia menghadapai berbagai masalah yang dia hadapi, serta mengenai minimnya pengalaman masalah kisah percintaan yang akhirnya dia dapat merasaka...