Chapter 23

2.2K 119 14
                                    

Pelaksanaan pernikahan Agra dengan Zahra akan dilakukan hari ini.

Sejak Habibah menyatakan pada Agra bahwa ia akan menerima Zahra sebagai bunda barunya, Agra dan Zahra langsung sibuk mempersiapkan pernikahan mereka.

Pernikahan orangtuanya hanya mengundang sebagian kerabat dan beberapa teman mereka. Habibah kini sedang menunggu ijab qobul dilakukan. Ia hanya dapat melihatnya dari kejauhan. Ayahnya tampak sangat gagah dengan berbalut pakaian pengantin pria yang berwarna putih.

Habibah tidak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Hatinya senang melihat Agra dapat tersenyum bahagia, tapi disisi lain hatinya juga merasakan sakit.

"Saya terima nikah dan kawinnya Zahra Ilyasa binti Fauzan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"

Suara lantang Agra terdengar menggema. Ketika mendengar itu Habibah menesteskan air matanya. Entah itu air mata karena kebahagian atau kesedihan Habibah juga tidak mengetahuinya.

Setelah beberapa saat Agra mengucapkan ijab qobul itu, Zahra datang bersama beberapa wanita yang mengiringnya menuju Agra.

Habibah melihat Zahra. Sama seperti Agra, Zahra juga tersenyum bahagia. Zahra begitu cantik, ia mengenakan dress pengantin wanita berwarna putih yang senada dengan pakaian Agra. Zahra terlihat seperti ratu disana.

Entah apa yang Habibah pikirkan, pada saat itu Habibah langsung melangkahkan kakinya keluar dari gedung pernikahan itu.

Ia tidak perduli dengan tatapam beberapa orang yang melihatnya ia sedang menahan tangisannya sambil berlari-lari kecil. Ia duduk disebuah ayunan di dekat gedung pernikahan itu. Tangis yang sudah ia tahan sejak tadi akhirnya tidak dapat tertahankan lagi.

Dengan nakalnya air mata itu langsung keluar begitu saja mengalir lembut di wajah Habibah.

Bukannya ini keputusanku?

Bukannya aku sudah menerima tante Zahra sebagai bunda baruku?

Habibah menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia menangis sesunggukan sambil meredam suara tangisnya.

"Habi?"

Ketika mendengar namanya dipanggil, Habibah langsung menghapus air matanya. Ia menoleh dan melihat seorang paruh baya disampingnya.

"Bude?" Kata Habibah.

Wanita paruh baya itu bernama Lasmi, ia merupakan adik dari Agra yang kini tinggal di Yogyakarta.

"Kamu kenapa nangis, sayang?" Tanya Lasmi.

"Gak kenapa kok, bude," Habibah berusaha menampilkan senyuman terbaiknya di depan Lasmi.

"Kamu masih belum bisa menerima bunda Zahra?" Tanya Lasmi. Pertanyaan itu membuat hati Habibah seperti tersayat.

Habibah juga tidak mengerti mengapa ia menangis. Bahkan ia sendiri yang bilang ke Agra bahwa ia menerima Zahra sebagai bunda barunya.

"Bisa kok bude," kata Habibah sambil memalingkan wajahnya.

"Kamu gak bisa bohong sama bude," kata Lasmi sambil mengelus pelan kepala Habibah.

"Zahra itu orang yang baik. Bude mengenalnya sudah sejak lama, bude percaya bahwa Zahra akan menjaga dan merawat Abuyamu dengan penuh kasih sayangnya,"

Habibah memandang lekat wajah Lasmi. Tidak ada guratan kebohongan disana.

"Tidak hanya itu, Zahra pasti menyayangi kamu juga. Jadi bude tidak perlu kawathir, karna dia pasti menyayangi kamu seperti bundamu menyanyangi kamu," kata Lasmi begitu lembut dan menyejukan hati Habibah.

"Jadi Habi harus apa, bude?" Tanya Habibah.

"Yang kamu perlu lakukan saat ini adalah membuka hati kamu dan menerima Zahra seutuhnya sebagai bunda kamu. Abuya menikahi Zahra bukan berarti karena ia sudah tidak mencintai bundamu. Zahra dan bundamu sungguh berbeda, Abuya mencintai bundamu, Abuya juga mencintai Zahra.

Mereka di tempatkan di tempat yang berbeda di hatinya. Bundamu merupakan masa lalu Abuya yang tidak dapat ia lupakan. Sementara Zahra, ia adalah wanita yang Abuya cintai pada saat ini. Meski begitu, rasa cinta Abuya terhadap bundamu tidak akan pernah luntur,"

Habibah tersenyum, hatinya sudah sedikit lega karena Lasmi. Ia memeluk Lasmi, dan wanita paruh baya itu juga membalas pelukan dari Habibah.

"Terimakasih bude. Habi sayang bude," kata Habibah.

"Oh ya, bude hampir lupa. Sebenernya bude kesini karna disuruh Bunda barumu untuk memanggil kamu. Kamu di cariin sama Bunda barumu, cepat temui dia," titah Lasmi.

"Oh yauda, Habi kesana dulu ya, bude? Pasti Abuya juga nyariin Habi,"

*****

"Tante Zahra?" Panggil Habibah saat memasuki ruangan tempat dimana Zahra mengganti pakaiannya untuk resepsi pernikahannya.

"Eh Habi, ayo sini sebentar," kata Zahra saat sadar bahwa Habibah sudah ada di ruangannya.

Habibah menurut dan menghampiri Zahra. Setelah itu Zahra langsung memeluk Habibah begitu erat.

Habibah hanya mematung. Bahkan di dalam hatinya ia ingin membalas pelukan Zahra, tetapi seolah tangannya tidak dapat digerakan.

Zahra memeluk Habibah cukup lama. Hingga beberapa saat Zahra melepas pelukannya dan menatap lekat-lekat wajah Habibah.

Zahra tidak berbicara apapun. Matanya berkaca-kaca saat melihat Habibah. Seolah semua perkataannya sudah diwakilkan dengan matanya.

Zahra tersenyum. "Terimakasih Habi, tante sayang Habi," kata Zahra, air matanya sudah mengalir lembut di wajahnya.

Habibah menghapus air mata yang mengalir di wajah cantik Zahra. "Tidak usah nangis, Habi juga seneng kok," kata Habibah yang juga sudah berkaca-kaca.

Zahra kembali memeluk erat Habibah seolah mereka tidak dapat terpisahkan. Namun pelukan yang teruntuk kedua kalinya ini Habibah dapat membalasnya. Habibah juga memeluk Zahra erat.

"Makasih ya sayang," kata Zahra.

"Udah..udah. Nanti Habi juga ikutan nangis," kata Habibah melepaskan pelukannya.

Zahra hanya dapat terkekeh.

"Udah ditungguin Abuya di depan pasti," kata Habibah mengingatkan.

"Yauda tante Zahra kedepan dulu ya, sayang," kata Zahra lalu berjalan meninggalkan Habibah.

"Eh," kata Habibah menghentikan Zahra yang sudah tepat berada di ambang pintu.

Zahra menatap Habibah seolah mengatakan "kenapa?".

"Hmm, hati-hati," kata Haba. "Bunda Zahra," lanjutnya.

Zahra tersenyum bahagia mendengar perkataan Habibah. Bagi Zahra dua kata tersebut yang terucap dari Habibah adalah hal yang benar-benar dinantikannya. Ia benar-benar senang saat mendengar dua kata itu.

"Iya sayang," kata Zahra tersenyum hangat lalu pergi menghilang dari pandangan Habibah.

Benar kata Erza, mungkin seharusnya aku memang menerima Bunda Zahra sebagai bunda baruku.

Habibah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang