Hari berlalu dengan cepat, hingga sampai saat ini, hari di mana ia yang akan segera dijemput Erza dan menemui Nabilah, bundanya Erza.
Entah mengapa ini semua membuat jantung Habibah berdegup kencang, Habibah terus merutuki dirinya sendiri. Hanya dijemput Habi, dan hanya bertemu Bundanya saja, tidak lebih.
Sedari tadi Habibah hanya duduk di tepi ranjang dengan memutar-mutarkan ponselnya. Terlihat tampang gelisah di raut wajahnya.
Dilihat jam di ponselnya yang masih menunjukan pukul 8 pagi, setidaknya ia masih ada 2 jam untuk menenangkan dirinya agar tidak gelisah seperti ini.
"Habi?" Panggil seseorang bersuara lembut dari luar kamarnya.
"Ya?" Jawab Habibah sembari jelan mendekati pintu.
"Ayo sarapan dulu," ajak Zahra tepat saat Habibah membuka pintu kamarnya.
Habibah hanya mengangguk kecil dan mengekori Zahra sampai meja makan, ternyata disana sudah ada Agra yang sedari tadi menunggu.
Dengan perlahan Habibah pun duduk di kursinya tepat di depan Zahra. Disampingnya tak jauh Agra disana, tepat di tengah diantara mereka berdua, Zahra dan Habibah.
"Ayo mas dimakan, biar aku siapin dulu," ucap Zahra lembut dan Agra hanya mengangguk kecil dengan senyumannya yang khas itu.
Habibah hanya memandang setiap inci pergerakan Zahra, dari mengambil piring milik Agra, mengambilkan nasi dan lauk pauknya, hingga mengisi gelas Agra dengan air.
Semua tertanam jelas di kepalanya, dan semuanya sudah tercatat jelas dimemorinya.
Sarapan pagi ini hanya dengan nasi goreng ditambah dengan tahu dan tempe goreng. Sederhana memang, namun masakkan rumah ini justru yang paling dirindukan Habibah.
"Habi?" Panggil Agra yang telah usai menghabiskan sarapannya.
"Ya Abuya?" Kata Habibah sembari memasukkan kembali makanan kedalam mulutnya.
"Kamu ingat, kan? Dua minggu lagi Abuya dengan tante Zahra menikah?" Kata Abuya menatap intens Habibah.
Seketika jantung Habibah terasa berhenti, secepat itu kah? Ia hanya menenggelamkan pandangannya menatap hampa nasi goreng yang tersisa di piringnya.
"Ya, Habi ingat," kata Habibah berbohong. Habi lupa Abuya, Habi lupa. Tapi benarkah secepat itu? Bahkan Habi belum bisa menerima tante Zahra seutuhnya.
Setetes air mata jatuh tepat pada piring Habibah. Zahra yang melihat itu hanya menatap tajam Agra. Seolah tak terima jika Agra telah membuat Habibah menangis.
"Habi ke kamar dulu," kata Habibah berdiri pelan.
Zahra yang melihat itu ia langsung berdiri dan menghampiri Habibah. Habibah terdiam membeku, tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
"Tante antar, ya?" Kata Zahra mengelus pelan punggung Habibah.
Habibah yang tak enak jika menolaknya, ia hanya menangguk pelan dan berjalan terlebih dahulu.
Zahra sempat melirik Agra, tatapannya seakan inging menerkam Agra saat itu juga, Agra yang melihat itu hanya terkekeh dan menunjukan kedua jari tenlunjuk dan jari tengahnya seperti huruf v, peace.
Sesampainya di kamar, Habibah hanya melamun di tepi ranjang, Zahra menghampiri dan duduk tepat di sebelah Habibah. Ia terus menatap Habibah dengan tatapan sendu, tapi memang itu yang ia rasakan, ia sayang betul dengan Habibah, bukan pembohong layaknya ibu tiri yang begitu kejam seperti di sinetron-sinetron.
"Habi?" Panggil Zahra, Habibah tak bergeming, ia tetap menunduk yang sesekali air matanya menetes mengaliri pipinya itu.
"Abuya gak akan pernah bisa mengantikan sosok bundamu," kata Zahra. "Abuya kamu itu juga pasti sangat sayang sama bundamu," lanjutnya menatap sendu Habibah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Habibah
SpiritualMenceritakan seorang gadis remaja bernama Habibah Zafira Syahidiah mengenai kehidupan barunya tentang cara dia menghadapai berbagai masalah yang dia hadapi, serta mengenai minimnya pengalaman masalah kisah percintaan yang akhirnya dia dapat merasaka...