Chapter 33

1.1K 63 19
                                    

Habibah masuk ke dalam mobil Laura. Jantungnya berdegup sangat cepat. Ia berdoa semoga tidak ada suatu hal yang tidak diinginkan lagi seperti sebelumnya.

Laura menyalakan mesin mobilnya. Tidak ada percakapan, hanya suara radio dan mesin mobil sedan itu yang mengisi keheningan. Habibah termenung dalam lamunannya, sementara Laura fokus menyetir mobil sedan itu.

Sudah lebih dari seperempat jalan mereka jalan, namun masih belum ada percakapan juga diantara mereka berdua. Habibah menggenggam erat jari-jarinya. Mencoba untuk lebih tenang tidak menampakkan rasa khawatir dan takut yang ia sedang rasakan.

"Bah," panggil Laura dingin.

Habibah menoleh, baru sempat ingin menjawab panggilan Laura, namun sudah terpotong oleh Laura yang melanjutkan ucapannya.

"Hari itu gue ngajak pulang bareng Erza," pandangan Laura kosong menatap jalan raya. "Tapi dia gak mau dan langsung pergi gitu aja,"

"Jujur gue capek banget gak pernah dihargain Erza sedikit pun," Ucap Laura tersenyum kecut.

"Tapi dihari yang sama juga, gue ngeliat dia malah ke halte bus sekolah setelah itu," Laura membuang napasnya pelan. "Dia ngobrol sama satu orang wanita yang lagi fokus baca buku,"

Habibah tertegun kaget saat Laura mengucapkan kalimat itu. Habibah yakin betul wanita yang ada di dalam cerita Laura itu adalah dirinya. Berarti Laura melihat Erza dan dirinya berdua mengobrol di halte bus depan sekolah. Habibah cemas, ia merasa sangat takut. Ia bahkan tidak berani untuk sekedar menatap mata Laura. Matanya sudah berkaca-kaca, ia takut kejadian beberapa hari lalu menempa dirinya lagi, atau bahkan jauh lebih parah. Habibah sangat takut itu terjadi kembali.

"Gue ngeliat jelas sampe wanita itu bener-bener ilang naik angkutan umum," kata Laura mengepalkan tangannya kuat pada stir mobil. "Gue juga ngeliat jelas Erza yang terus ngeliatin mobil itu pergi sampe ilang di pertigaan jalan," lanjutnya.

Habibah hanya dapat terdiam. Ia tidak tahu harus merespon seperti apa. Habibah takut salah kata dan berujung malapetaka.

"Gue juga ngeliat jelas kalo Erza ngoceh panjang lebar," kata Laura meneteskan air matanya. "Ya walaupun gak direspon juga sama wanitanya sih," kata Laura tersenyum lirih.

"Walaupun dia ngoceh panjang lebar sendirian, tapi dia senyum. Dan senyum itu gak pernah dia tunjukkin kalo lagi sama gue."

"Walaupun wanitanya gak ngeluarin sepatah kata pun, tapi dia manis banget ternyata senyum-senyum di balik buku bacaannya," Laura tersenyum.

"Laura—" panggil Habibah lirih.

"Gue gak akan nyakitin lo kok, tenang. Lo bisa percaya satu hal itu sama gue," Laura menatap Habibah sekilas. Tatapannya begitu tajam dan tenang. Memberikan sedikit rasa tenang pada hati Habibah.

"Maaf Laura," kata Habibah tersenyum lirih.

"Gak ada yang perlu dimaafin juga," kata Laura mengangkat kedua bahunya. "Lo jadi manusia jangan sebaik itu deh, malah geli gue jadinya ada manusia sebaik itu. Karena gue gak bisa jadi kaya lo," ucap Laura memutarkan kedua bola matanya malas dan  membuang napasnya kasar.

"Iya maaf—"

"Bah, lo budek ya?" Laura menatap sebal Habibah. "Bisa-bisanya Erza suka sama cewek budek."

"Aku gak tau harus respon gimana, Laura," Habibah tersenyum kaku melihat ke arah Laura.

"Akhirnya gue sedikit paham setelah ngeliat lo berdua waktu itu di halte bus," kata Laura sumringah.

Habibah menatap Laura, ia penasaran apa maksud dari perkataan Laura barusan.

"Gue sadar gue hadir di antara orang yang lagi saling suka satu sama lain," kata Laura. "Gue hadir sebagai penghalang yang ngebuat lo malah ngejauhin Erza. Padahal gue yakin lo gak nyaman akan hal itu."

Habibah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang