Sudah beberapa hari sejak Habibah memutuskan untuk menjauhi Erza. Habibah sendiri ketika melihat Erza di sekolah ia lebih memilih untuk menghindarinya dibandingkan berpapasan dengannya.
Sementara Erza sering memerhatikan Habibah dari kejauhan. Meskipun jika pandangan mereka bertemu Habibah langsung pergi hilang dari pandangannya. Erza hanya dapat tersenyum kecut saat melihat kepergian Habibah.
Selain itu tiga bulan lagi mereka akan menghadapi Ujian Nasional. Mereka berdua juga sudah disibukkan dengan pelajaran-pelajaran tambahan. Habibah sendiri sudah fokus untuk belajar, meskipun sesekali ia masih memikirkan Erza.
Sementara setelah Habibah memutuskan untuk menjauh, kini hidup Erza dihantui oleh Laura. Wanita itu selalu saja berusaha mendekati Erza, meskipun Erza bersikap tak acuh padanya.
Setelah selesai jam pelajaran tambahan yang dilaksanakan sepulang sekolah, Laura sudah menunggu Erza tepat di depan pintu kelas Erza. Laura sudah menunggunya sekitar 5 menit karena masih ada guru yang mengajar di kelasnya.
Erza melihat ke arah Laura. Ia mendenguskan napasnya kasar. Ia sudah sangat lelah menghadapi wanita satu itu. Erza memutarkan bola matanya malas dan membuang pandangannya ke papan tulis.
Tidak lama bu Suci guru mata pelajaran Geografi keluar dari kelas Erza menyelesaikan kelas tambahannya.
"Berapa lama sih kita begini?" Tanya Doni lesu. "Capek banget gue kalo tiap hari begini," lanjutnya.
"Ya paling sebulanan lebih lagi, Don," saut Ali.
"Buset dah. Kapan gue mainnya kalo gini caranya," keluh Doni sambil mengacak-acak rambutnya.
"Za Laura tuh depan kelas," kata Tio sambil sambil menunjuk ke arah pintu kelas.
Erza tidak acuh, ia mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban.
"Besok cabut kelas tambahan aja gimana?" Seru Doni sumringah.
"Cabut mana? Gue juga udah males banget kelas tambahan gini," kata Erza menyenderkan badannya ke kursi dan menaikkan kakinya ke atas meja.
"Warkop belakang aja gimana? Udah lama banget gak ngopi bareng kita,"
"Ya udah gimana besok aja deh," kata Erza mengangkat kedua alisnya sambil tersenyum.
"Hay Erza!" Sapa Laura tepat di samping Erza.
Erza hanya bergumam sebagai jawaban. Ia sama sekali tidak melirik Laura sedikitpun.
"Eh neng Laura, pulang bareng aa Doni, yuk!" Ledek Doni sambil terkekeh melihat Laura.
Laura berdecih melirik Doni dengan sinis. Setelah itu ia kembali menatap Erza dan tersenyum lebar.
"Pulang bareng, yuk! Anterin aku pulang," ajak Laura penuh semangat.
"Ogah, males."
Laura cemberut mendengar jawaban Erza. Sementara Tio melirik Laura dengan tatapan sedih, sebenarnya Tio sudah cukup lama menyembunyikan perasaan sukanya terhadap Laura. Namun ia lebih memilih menutupnya rapat-rapat karena Laura lebih menyukai Erza dibandingkan dirinya.
"Pulang bareng sama gue aja deh, mau gak?" Tanya Tio tersenyum lembut menatap Laura.
Laura melirik Tio. "Tapi gue maunya pulang bareng Erza, gimana dong?"
"Tapi gue gak mau tuh pulang bareng lo."
Ali dan Doni hanya menahan ketawanya geli mendengar ucapan penolakan dari Erza. Sementara Tio hanya dapat tersenyum kikuk melihat ke arah Erza.
Erza memandang Tio, mata mereka sempat bertemu sepersekian detik sebelum Tio akhirnya membuang pandangannya. Erza tersenyum miring saat melihat tingkah laku Tio yang seperti itu.
"Tio udah ngajak pulang bareng lo, sana sama dia aja," kata Erza sambil berdiri dan memakai tasnya. "Hargain Tio, gue gak bisa bales perasaan lo Ra, sorry," ucap Erza yang setelah itu pergi meninggalkan mereka.
Laura cemberut dan melirik Tio beberapa saat, pandangan mereka bertemu. Laura memutarkan kedua bola matanya malas. Ia menghembuskan napasnya kasar.
"Mending gue naik ojek online deh," kata Laura sinis lalu pergi meninggalkan mereka.
Setelah kepergian wanita itu, Tio hanya dapat tersenyum kecut. Nyatanya Laura benar-benar tidak bisa membuka hatinya untuk dia.
"Masa gitu aja nyerah, Yo. Kalah lo sama pahlawan, malu-maluin ras cowok aja lo," kata Ali sambil memukul pelan punggung Tio bermaksud menyemangatinya.
"Lo nyerah gue yang gebet, nih. Kejang-kejang aja tau rasa lo pas denger gue jadian sama Laura," ejek Doni terkekeh.
Tio melirik Doni sinis. Sementara Doni hanya tertawa melihat ekspresi penuh ancaman dari Tio.
Sementara itu Erza sudah melajukan motornya meninggalkan perkarangan parkiran sekolah. Ia terhenti di depan gerbang. Erza melihat Habibah sedang duduk sendirian di halte depan sekolah menunggu angkutan umum yang mengarah ke rumahnya.
Erza sedang menimbang-nimbang apakah ia harus menghampiri wanita itu atau tidak. Ia tersenyum kecut. Ia takut malah menganggu Habibah. Namun akhirnya rasa takut itu terkalahkan, ia memberanikan diri menghampirinya.
Ia menepikan motornya tepat depan halte Habibah menunggu. Ia membuka helmnya dan berjalan menghampiri Habibah. Wanita itu tidak menyadarinya, ia sedang sibuk membaca buku novel.
"Halo, gak kangen gue apa?" Tanya Erza sambil duduk samping Habibah. Jarak keduanya cukup jauh, Erza menghargai Habibah yang masih memutuskan untuk menjauhi dirinya.
Habibah menoleh, ia melotot kaget saat tahu ternyata Erza sudah duduk berada di sampingnya. Ia kembali menoleh menatap buku yang berada di pangkuannya. Ia semakin tenggelam menunduk tidak ingin melirik Erza.
"Apa gue ganggu?"
Habibah tidak menjawabnya, degup jantungnya bergerak dua kali lebih cepat. Ia sudah tidak bisa fokus membeca buku saat tahu Erza ada di sebelahnya.
"Nyatanya gue gak bisa bener-bener jauhin lo,"
Habibah hanya dapat tersenyum pahit saat mendengar kalimat itu.
"Mau sampe kapan ngejauhin gue?" kata Erza bermonolog sambil menatap jalan raya yang penuh kendaraan berlalu lalang.
"Gue kangen jalan bareng lo. Kangen sama anak panti juga, kayanya mereka juga kangen lo deh. Lo gak mau gitu kita ke panti bareng lagi?" Tanya Erza sambil tertawa renyah.
Habibah semakin tertunduk, ia sama sekali tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan Erza. Sesekali ia melirik jalan raya memastikan dan berharap sangat agar angkutan umum yang ke arah rumahnya segera datang. Ia juga melirik Erza sesekali, pandangan Erza terlihat kosong dan Habibah hanya dapat tersenyum getir melihatnya.
"Bunda nyariin lo, katanya dia kangen banget sama lo. Kapan mau ketemu sama bunda lagi?" Tanya Erza tersenyum miring.
Nyatanya Habibah sendiri sebenarnya juga rindu dengan anak panti dan juga bunda Erza. Selain itu ia juga sedikit merindukan Erza, nama itu sesekali terbesit di pikirannya saat ia ingin memejamkan matanya untuk tidur. Ia tidak dapat membohongi perasaannya kalau sebenarnya ia juga merindukan Erza.
"Tuh angkutan umum ke arah rumah lo udah mau sampe," kata Erza sambil menunjuk salah satu angkutan umum yang masih cukup jauh namun terlihat jelas oleh padangan.
Habibah turut ikut melihat ke arah yang dimaksud dengan Erza. Ia menghembuskan napasnya lega saat melihat benar akhirnya angkutan umum itu datang.
"Tadinya gue mau ngajak pulang bareng," kata Erza menghembuskan napas pelan menetralkan emosinya. "Tapi lo pasti gak mau, ya?" Lanjutnya tersenyum getir.
"Jangan lama-lama, ya?" Kata Erza.
Setelah angkutan umum itu sampai di depan halte, Habibah buru-buru berdiri dan menghampiri angkutan umum tersebut.
"Zafira!"
Langkah Habibah terhenti saat Erza memanggil namanya. Ia mendengar ucapan Erza tanpa berbalik menatap ke arahnya.
"I miss the old you, I swear."
KAMU SEDANG MEMBACA
Habibah
SpiritualMenceritakan seorang gadis remaja bernama Habibah Zafira Syahidiah mengenai kehidupan barunya tentang cara dia menghadapai berbagai masalah yang dia hadapi, serta mengenai minimnya pengalaman masalah kisah percintaan yang akhirnya dia dapat merasaka...