Chapter 05.1 - Strategy

1.1K 99 0
                                    

25 Juli 2038.

Hari itu tidak cukup cerah untuk sebuah kompetisi, justru mendung dengan taburan salju yang cukup banyak dibandingkan hari-hari sebelumnya. Pagi ini, kompetisi secara resmi dimulai. Dengan peserta yang cukup banyak, ada sekitar empat atau lima ribu gabungan party dan squad yang terdaftar. Itu berarti ada sekitar puluhan hingga seratus ribu pemain yang terdaftar di kompetisi ini.

Hingga siang berlalu, kami masih menunggu urutan nomor kami. Cukup lama, karena melihat kondisi raid-nya yang hanya bisa dimasuki oleh 50 kelompok secara bersamaan. Dan yang lainnya? Mereka harus menunggu. Dengan perkiraanku, kemungkinan akan memakan waktu sekitar dua atau tiga hari, atau mungkin satu minggu.

"Kita masih harus mencari informasi untuk strategi kita," ucap Avery selepas memasuki tenda yang dibuat cukup besar untuk orang lima.

"Apa?" ucap Foxx yang sedang membaca sebuah buku yang tidak kuketahui judulnya ditemani oleh Arianne di sampingnya. Berbeda dengan Cello yang langsung hilang entah ke mana setelah mendengar perkataan Avery barusan.

Aku melepas satu sisi earphone yang kukenakan. Bosan menelanku di dalam tenda ini.

"Banyak pemain yang tumbang pada awal menit-menit mereka masuk," tambahnya menjelaskan, nadanya masih datar namun ekspresinya terlihat sedikit khawatir.

"Kalau begitu aku akan pergi," tawarku, kemudian aku beranjak dari tempat tidurku. Hitung-hitung agar aku tidak bosan di dalam sini.

Hmm, aku berpikir informasi seperti apa yang Avery maksud. Itu memang benar, kami tidak mendapat banyak informasi untuk hari pertama, dan ini masih delapan jam setelah kompetisi ini dibuka.

Aku berpikir apakah aku mempunyai kenalan yang sudah memasuki raid itu. Dengan wajah asli mereka, mustahil aku dapat mengenalinya dengan mudah.

"Hmm." Aku memandang sekelilingku dengan tatapan pesimis, semuanya terlihat sibuk dengan kelompok mereka masing-masing.

Pandanganku teralihkan pada seseorang di antara keramaian itu, dia tidak asing bagiku, setidaknya tidak dengan pakaian yang ia kenakan. Sebuah baju berwarna kuning dengan motif Panda. Tiga tahun lalu aku mempunyai kenalan yang suka mengenakan baju seperti itu setiap kali bertemu dengannya di VRO.

Tapi, siapa namanya? Yang kuingat hanya dia adalah orang yang menyebalkan.

Aku tidak ingat nama siapa pun karena aku memang tidak peduli dengan mereka semua pada saat itu. Tapi ternyata aku salah dengan itu. Aku tidak bisa bermain solo dalam dunia yang telah kukenal dulu, dunia ini sudah berbeda dari yang kukenal dulu.

Sial, kenapa dulu aku memutuskan untuk menghapus semua daftar teman itu? Itu jelas keputusan yang bodoh.

Apa yang harus kulakukan? Berpikirlah, bodoh.

Aku harus ke sana, menyapanya, walaupun aku lupa dengan namanya, setidaknya dia masih mengingatku, kan?

Baiklah.

Aku melangkah maju, menatapnya yang sedang berbincang dengan temannya, tiga temannya yang dulu juga bersamanya saat itu, ternyata hingga sekarang mereka masih bersama-sama.

"Ehm." Aku berdeham ketika berada tepat di sebelahnya. Suara-suara itu memang jelas milik orang yang aku maksud.

Mereka menoleh, dugaanku tepat.

"Eh," dia menatapku yang berjalan melewatinya, aku berhenti sejenak. "Kau!" aku menoleh menatapnya, mata kami saling memandang satu sama lain, dia terlihat kaget. "Aku lupa namamu!" dia menggenggam lenganku dengan ekspresinya yang begitu terkejut.

Sebuah kata-kata yang tidak kuprediksikan. Aku mengira dia akan berkata "kau Blue!" atau setidaknya, "kau Blue, kan?" tapi mengapa dia malah berkata kalau dia tidak mengingat namaku. Uh, tapi setidaknya dia mengingat kalau ini adalah diriku.

"Eh?" aku menatapnya, aku tidak ingat jika dia memiliki wajah seperti bayi.

"Dia Blue, kan?" ucap salah seorang temannya yang mengenakan baju berwarna hitam polos, dengan badan yang lebih tinggi serta rambutnya yang selalu berantakan, dia bukan temannya melainkan sepupunya.

"Ah, benar! Blue!" Dia melepaskan genggaman tangannya.

"Dan, kau?" aku bertanya balik padanya karena itulah maksud utamaku tadi.

"Elizabeth! Lisa! Kau tidak ingat? Benar-benar mengecewakan!" ekspresinya terlihat kecewa, begitu jelas, namun dia tidak marah dengan pertanyaanku.

"Aku Kyle, ingat?" sepupunya tadi, benar, namanya Kyle. Mereka berdua adalah orang Indonesia yang keturunan Italia.

"Namaku Sandara, kita pernah bertemu sebelumnya." Sandara, dia adalah pacar Kyle sejak aku mengenal mereka bertiga. Dia gadis mungil yang selalu ceria.

"Oh, benar, aku baru ingat sekarang!" ucapku agak kaku dengan senyumanku yang memaksa lainnya.

"Jelas ingat, karena kami baru saja menyebutkannya." Dia mendengus kecewa lagi, sama seperti sebelumnya. Dia memang sosok gadis yang tidak terlalu senang jika dia harus kecewa.

"Hmm." Aku berpikir menatapnya, apa yang dia lakukan di sini?

"Apa?"

"Kalian kemari ikut kompetisi?" tanyaku.

"Jelas!" jawabnya dengan judes. "Memangnya ada apalagi selain itu?"

"Ya, aku hanya bertanya," aku menjawab tanpa memandangnya dan beralih pada Kyle serta Sandara yang berada tidak jauh dari Lisa. "Kalian sudah menyelesaikan raid-nya?" tanyaku lagi.

"Kami baru saja selesai." Kyle menjawab dengan senyum ramahnya, sepupunya ini memang tidak sepertinya.

"Jangan-jangan kau mau meminta informasi tentang monster di dalam?" nadanya setengah tinggi, memandangku tajam sampai aku sendiri tidak berani menatap mata delima berwarna merah darahnya.

"Sudah, Lisa," Kyle menenangkan sikap Lisa yang kurasa memang sedikit tidak sopan—karena itulah sifat aslinya. "Lebih baik kau temani Sandara melihat-lihat." suruhnya, dengan kata-kata Kyle barusan, secara otomatis Lisa menurutinya. Dia segera menggandeng lengan Sandara yang berada di sebelah Kyle dan mereka berjalan menuju keramaian, entah ke mana.

"Dia, tidak berubah ya?" tanyaku sesaat setelah Lisa benar-benar menghilang di tengah kerumunan, kupastikan dua kali jika dia sudah benar-benar menghilang dari jangkauanku, jika tidak akan gawat kalau dia sampai mendengar kata-kataku barusan.

"Yah, memang begitulah sifatnya," dia terkekeh memaklumi sepupunya yang super judes. "Tapi jangan salah, dia sebenarnya hanya butuh perhatian lebih."

"Oh~ Pasti sulit untuknya mendapatkan pacar." Aku tertawa kecil sambil memandang kerumunan itu, lalu beralih ke arah Kyle yang masih berada di depanku.

"Yah, apa boleh buat," Kyle menaikkan kedua bahunya tanda pasrah terhadap pernyataanku. "Ayo kita pergi ke suatu tempat yang lebih tenang."

--

Project Legacy: AwakeningTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang