Di masa itu, masih penuh keterbatasan. Apapun bergantung pada materi. Bahkan, tak sedikit pemikiran masih jahiliah. Hidup seakan bergantung pada kekuasaan, di mana uanglah yang menjadi tolak ukur. Penduduk desa yang terbelakang. Pendidikan dinomorduakan dan dianggapnya sebagai pemborosan.
Begitulah yang terjadi pada keluarga kecil yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini. Ketika ia masih kecil, baru tamat dari sekolah dasar. Dia menangis karena ingin bersekolah. Namun, ia tidak punya untung sebagaimana anak-anak yang lainnya. Di mana mereka yang dipaksa ke sekolah, tetapi tak mengindahkan. Sedangkan yang memiliki keinginan yang besar malah orang tua yang tidak memfasilitasi.
* * *
Di tegah hiruk pikuk kehidupan, setelah dua tahun berlalu. Ternyata waktu bisa mengubah pemikiran orangtuanya. Puang Aleng, yang tadinya tidak peduli dengan pendidikan anaknya. Mulailah secara perlahan membuka mata, walau harus bertentangan dengan suaminya, Daeng Tata. Namun, Puang Aleng adalah ibu rumah tangga yang memiliki kuasa sehingga ia mampu memaksa Daeng Tata untuk tak membantah. Dan, pada akhirnya, si anak yang berniat tulus itu. Anak yang berkeinginan menjadi orang yang dapat mengangkat martabat keluarganya. Dapat bersekolah di Madrasah sanawiah.
Selama ia menempuh pendidikan. Banyak warna yang menjadi bunga kehidupan. Termasuk ia harus berjalan kaki setiap pagi dan sore dengan durasi 2 jam. Bukannya tidak ada kendaraan yang dapat ia tumpangi. Banyak! Bahkan, ada mobil khusus, tetapi ia malu jika hendak menumpang. Lantaran tidak punya uang yang cukup untuk membayar ongkos. Begitu terus setiap hari, sampai ia berhasil lulus dan memiliki ijazah.
Dengan merasa ia mampu belajar di sekolah yang lebih baik. Ia kembali memohon untuk bersekolah di SMA yang lebih populer. Lagi-lagi Puang Aleng bersama Daeng Tata tidak mengabulkan. Apalah daya, sungguh ingin ia berjuang untuk membanggakan orang tuanya. Namun, kedua orang tua itu kembali berpikiran kuno. Mereka selalu takut jika tidak bisa membayar biaya sekolah. Padahal jika diteliti dari segi ekonomi. Keluarga Daeng Tata bukanlah orang tak punya. Apabila dibandingkan dengan penduduk lainnya, ia termasuk keluarga sederhana. Yang tentunya dapat menyekolahkan anaknya dengan tanpa memikirkan biaya.
Karena orang tua yang tak lagi berniat menyekolahkan, ia memutuskan untuk pergi saja. Ia masih kecil. Masih belum mendapat izin untuk memiliki kartu tanda pengenal. Sehingga hanya dengan selembaran kartu domisili, yang ia bawa dari kantor kepala desa. Ia ikut ke Malaysia bersama Pamannya.
Betapa menyesal Puang Aleng saat itu. Besar sekali harapannya untuk tetap menahan anaknya agar tidak pergi. Namun, rupanya telah terlambat, tekat seorang anak itu telah membulat. Buat apa juga tinggal jika diperlakukan seperti anak pungut. Tidak ada dukungan sama sekali–pikir anak itu. Dan, pada akhirnya, Puang Aleng terpaksa merelakan.
* * *
Karena tak ada restu dari orang tua, perantauan pun tak berujung manis. Ternyata berada di Malaysia selama setahun lebih, pun sama juga. Gundah dan gusar terus-menerus menyiksa. Ia kemudian memutuskan pulang saja. Karena menjadi perantauan–menurutnya–tidak akan beroleh apa-apa. Yang ada, masa depan akan semakin hambar dan tidak punya arah.
Dan, sewaktu pulang dari rantau. Ia menggunakan Kapal PLNI antara Nunukan–Pare-Pare. Ia sungguh terpukau dengan penampilan ABK (anak buah kapal) yang memeriksa tiketnya di muka tangga. Setelah ia menyimpan barang bawaannya. Ia kembali berdiri di balkon dan memperhatikan penumpang yang lalu-lalang memburu tangga. Perhatiannya lantas teralih kepada kedua ABK yang sibuk memeriksa tiket setiap penumpang.
Ia tidak mengerti apa jabatan ABK itu. Namun, yang ia lihat, pakaian yang mereka gunakan sungguh menarik. Ketat dan disertai atribut yang berkilau keemasan. Andai saja aku bisa seperti mereka, aku pasti terpandang di kampung, katanya dalam hati.
Sungguh pemandangan itu membuatnya tergoda. Ia kemudian mengamati lebih serius, dan membayangkan dirinya yang sedang berada di sana. Dan, di perjalanan pulang itulah berawal. Mimpi yang tanpa ia sadari telah lahir dalam benaknya.
Pelaut? Terketuk sebuah bisikan ragu dari dalam jiwa untuk mengubah haluan hidup. Ah, bukankah tidak ada yang tidak mungkin jika ada niat di hati pasti akan ada jalannya.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story of Sailor
General FictionSebagian cerita hanya bisa dibaca oleh pengikut saya. Jadi kalau mau baca cerita secara keseluruhan jangan lupa untuk meng-follow saya terlebih dahulu. Dari kecil, Aditya tidak pernah puas akan pendidikannya. Semangat untuk bersekolah selalu dipata...