*
ratimaya - eka
*
Janita tidak ingin ambil pusing dengan berbagai persoalan yang menimpa orang-orang yang tak bertanggungjawab serta bejat di Indonesia. Bukannya apa-apa, ia sudah percaya pada lembaga hukum, jadi biarlah semuanya diserahkan ke hadapan hukum, kecuali jika aparat hukumnya juga terlibat dalam kasus tersebut, itu beda cerita. Alasan lain yang membuat Janita enggan berkomentar lebih jauh tentang isu-isu panas yang menumpuk di negaranya adalah karena ia sudah cukup dibuat pening dengan tugas kuliah yang berupa laporan, kuis dadakan, serta proposal BEM dan UKM. Janita tidak mau terlalu ikut campur dalam dunia politik di Indonesia. Ia cukup menonton topeng-topeng palsu itu berkomentar, atau cukup tahu berita-berita yang berkeliaran di media sosial.
Buka, baca, dan diam. Itu triknya.
Saat Mama, Opa, dan Jagar sibuk membericarakan betapa kagetnya mereka melihat Joko Amara sebagai terduga korupsi, Janita justru tiduran di dalam kamar. Saat Mama bilang, "Pak Joko itu teman SMA Papa, kenapa dia jadi kayak begini, ya?", Janita hanya mengangkat bahu, enggan memberikan komentar. Lagi pula, manusia itu memang cepat berubah, apalagi saat memiliki kekuasaan. Tidak peduli riwayat kebaikan yang ia lakukan dulu, korupsi tetaplah korupsi.
Sekarang sudah jam lima kurang sepuluh menit, dan Tera sudah sampai di rumah Janita. Ia langsung memeluk Mama. "Tante Lintang, Tera kangen banget sama Tante," katanya, sambil kedua tangan Tera memeluk erat Mama.
"Tante juga kangen sama Tera." Mama menguraikan pelukan. "Sibuk pacaran ya sampai baru ke sini lagi?" Mama menggoda Tera sehingga perempuan itu cengengesan.
"Biasalah Tante, namanya juga anak muda. Daripada Yaya, jomblowati abadi tahun ini." Tera bisik-bisik di telinga Mama, yang sialnya mampu dengan jelas Janita dengar.
Di ujung tangga, Janita bersuara, "Kedengaran loh, Mbak, sampai sini bisik-bisiknya." Ia lantas berjalan ke arah Tera dan Mama. "Mama jangan dengerin omongan Tera, nanti ketularan toxic-nya."
Mama tersenyum, lantas menggoda Janita. "Kalau ada yang deketin tuh dibuka hatinya."
"Udah punya gebetan sendiri. Rahasia. Gak boleh dibagi sama siapa pun."
Tera berseru, ia memutar tubuh Janita yang semula menghadap Mama, kini menghadapnya. "Siapa orang yang lo suka? Kok nggak ngasih tau gue?" Ia merengek, mirip anak kecil yang minta dibelikan es krim oleh ibunya.
"Kepo." Janita menjulurkan lidah. Badannya kini menghadap Mama. "Yaya pergi dulu. Mama sama Opa hati-hati di rumah. Jagar ada di kamar lagi main sama Syail, Syoh, Stiy, dan Fisti."
"Jangan pulang larut malam. Kalau ada apa-apa, telepon Mama atau Jagar. Kamu bawa power bank?"
Janita mengangguk. "Ada di sini." Tangannya mengetuk tas punggungnya.
"Yaya sayang Mama." Dikecupnya pipi Mama oleh Janita. Diikuti dengan Tera yang memeluk Mama.
*Selama diperjalanan, Rajendra berkali-kali mendengus kesal akibat jalanan Jakarta yang macet total. Kalau saja Lingga tidak berkunjung ke rumahnya jam empat sore tadi dan meminta Rajendra untuk ikut bersamanya di festival budaya, Rajendra akan melanjutkan tidur sorenya. Tapi karena Lingga dekat dengan ibunya, ia meminta wanita tersebut untuk membangunkan secara paksa Rajendra, lalu menyuruhnya mandi sore dan memakai pakaian yang bagus untuk pergi ke festival budaya. Mau tidak mau, berakhirlah Rajendra duduk di mobil yang tidak jalan-jalan ini.
"Namanya juga Jakarta, Raj, kalau nggak rame ya nggak seru." Lingga yang tengah memegang kemudi sudah cukup pegal mendengar keluhan Rajendra. Dari mulai kepanasan, jalanan yang macet total, serta lapar dan haus yang melandanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Romanceyou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish