*
ratimaya - sapta
*
Menjadi dewasa itu adalah hal yang paling menyenangkan sekaligus menyebalkan. Beberapa orang merasa dirinya dipermainkan oleh proses bernama kedewasaan. Sebagian lagi merasa kalau proses dewasa adalah gerbang yang mengantarkan manusia untuk lebih dapat mensyukuri hidup di dunia. Masa kecil yang Lingga habiskan di kota asalnya, Malang, penuh dengan rentetan kisah pilu. Ibunya pergi dari rumah karena istri pertama ayahnya mengusir wanita itu saat ia tengah menemani Lingga tidur. Karena memang mengaku kalah dan salah sebab merebut kebahagian istri pertama ayahnya, ibunya pergi dan menitipkan Lingga pada istri pertama ayahnya.
Usia Lingga saat itu sembilan tahun. Bocah kelas 3 SD itu sudah melihat bagaimana ayah dan istri pertamanya beradu mulut yang berlanjut dengan tangan ayahnya menampar istri pertamanya. Dari yang Lingga dengar dari balik pintu kamar, ayahnya sangat mencinyai ibunya. Bahkan ayah dan ibunya lebih dulu bertemu sebelum pria itu menikah dengan istri pertamanya.
Sebenarnya, sudah berkali-kali ibu Lingga meminta cerai, tapi berujung dengan mengurungkan niat. Ibunya sangat mencintai Lingga. Ia tidak peduli seberapa kerasnya hidup untuk perempuan yang dicap sebagai perebut kebahagiaan, ibu Lingga melunakan dunia hanya untuk anak satu-satunya. Ia berpikir kalau ia menggugat cerai suaminya, Lingga akan luntang-lantung di usia belia.
Sampai usia 18 tahun Lingga berada di kota yang mempunyai cerita menyakitkan tersebut. Tepat saat ia lulus SBMPTN di kota Jakarta, Lingga langsung membawa perlengkapan dan sisa uang saku di tabungan untuk tinggal di Ibukota. Ia tidak peduli anggapan kalau Jakarta kertas, Jakarta macet, Jakarta bising, dan Jakarta rusuh. Lingga hanya ingin menyingkir dari masa kecil hingga masa remaja yang membuatnya mengumpat setiap detik.
Ayahnya diketahui pindah ke Jakarta, tapi Lingga tak tahu pria itu di mana. Ibunya juga menghilang setelah sekian lama. Hidup dengan terbiasa sebatangkara, membuat Lingga mengambil kesimpulan kalau menjadi dewasa adalah hal yang paling memuakkan. Ia ingin kembali menjadi kecil, menjadi Lingga yang bermain robot bersama ayah dan ibunya di halaman belakang, menjadi Lingga yang membuat ayah dan ibunya selalu ingin memeluknya setiap saat.
"Bengong aja lo." Suara Rajendra menyadarkan Lingga dari lamunannya.
"Iya nih, banyak pikiran gue." Lingga membalas setelah meminum soda miliknya.
"Masalah apa lagi? Janita?" Rajendra menebak sambil mengeluarkan laptop dari tasnya.
Kepala Lingga menggeleng. Ia ikut mengeluarkan laptop dari dalam tas. "Bukan Janita."
Kantin FSRD tidak terlalu ramai. Lingga memutuskan untuk menghampiri Rajendra karena ada beberapa hal yang harus ia bahas dengan ketua BEM kampus tersebut berkaitan dengan pelan olahraga antarfakultas yang rencananya akan diadakan bulan depan.
"Gue ada beberapa ide," Rajendra membuka percakapan seraya memperlihatkan hasil powerpoint-nya kepada Lingga. "Sekiranya, ada tiga cabang olahraga baru. Pertama, senam ritmik. Kedua, lempar lembing. Ketiga, panahan."
Lingga melihat slide tersebut dengan seksama. Kepalanya mengangguk pertanda mengerti dengan apa yang Rajendra ketik di situ. "Oke, sih, ini idenya. Gue juga punya pemikiran yang sama kayak lo untuk masukin mata lomba panahan. Kalau untuk senam ritmik, lo yakin mau masukin itu ke cabang perlombaan?"
"Nah itu, gue masih bingung. Di rapat nanti, gue mau minta pendapat seluruh anggota. Siapa tau mereka juga punya ide bagus. Kalau lo, ada ide apa?"
"Gue punya ide untuk acara closing, sih. Biasanya kan dari acara-acara kemarin, cuma band dari masing-masing fakultas aja yang tampil. Band dari luar cuma itu-itu aja. Gue punya ide untuk mengundang band indie yang terkenal gitu, kayak Fourtwenty, Payung Teduh, Mocca, Barasuara, atau Adhitia Sofyan. Gue rasa dari UKM paduan suara lebih ngerti masalah penyanyi begituan."
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Romanceyou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish