pancadasa - how do you spell love?

1.6K 281 41
                                    

*

ratimaya - pancadasa

*

Ada banyak hal yang Janita coba hilangkan dari kepalanya. Dari mulai trauma Mama, kepergian Papa, hidup yang monoton, Lingga yang mencintainya, serta kejutan listrik yang timbul akibat percakapannya dengan Rajendra sehari yang lalu. Mau seberapa kuat Janita menghindar, tetap saja semua itu ada untuk ia kejar. Mau seberapa hebat ia menyangkal, tetap saja semua yang tidak ia inginkan tak kunjung tanggal.

Perilaku Rajendra kepadanya semakin nyata. Bukan melalui pesan atau puisi yang biasanya Lingga lakukan, tapi Rajendra menunjukkan keseriusan atas ucapannya melalui tindakan.

Contohnya saja tadi malam. Laki-laki itu datang ke rumah dengan tiba-tiba dan membawa dua box yang berisi martabak dan roti bakar. Mama sudah pasti menyambutnya dengan sangat hangat. Wanita itu memeluk Rajendra, membelai rambutnya, dan menanyakan apakah laki-laki itu sudah makan atau belum. Mama mengabaikan tatapan Janita yang menatap aneh ke arah Rajendra, seakan bertanya tujuannya datang ke rumahnya itu apa.

Singkat cerita, Rajendra kembali memulai terapisnya. Ia mengajak Mama berdiskusi tentang buku-buku bacaan yang sama sekali tak Janita mengerti. Mereka membahas tentang misteri-misteri di dunia yang belum diketahui. Mereka juga membahas konspirasi dan ensiklopedia dunia. Mama tentu sangat antusias, sebab ia baru menemukan teman diskusi yang cocok untuknya. Mungkin kecocokan dengan Rajendra yang didapat Mama sama seperti yang ada pada Papa.

Sekarang sudah jam dua siang, Janita berada di sekretariat untuk rapat lanjutan mengenai pekan olahraga antarfakultas. Rapat masih belum dimulai karena harus menunggu Deka yang tengah membeli makanan dan minuman.

"Deka lama amat buset." Sena merenggangkan tangannya ke udara. "Kalau kelamaan, mulai aja deh rapatnya. Keburu sore kalau nunggu itu bocah."

"Yeee, katanya kepengen rapat sambil makan-minum. Kan lo juga yang mau rapatnya duduk di lantai, bukan di kursi." Rio protes sambil melempar bekas sedotan ke arah Sena, yang langsung ditepis laki-laki itu sebelum mengenai wajahnya.

"Udah, udah. 15 menit lagi kalau Deka nggak datang, ya udah kita mulai rapatnya." Rajendra mencoba menengahi. Kemudian ia mengambil gitar yang saat ini ada di pangkuan Janita. "Jan, gue pinjam, ya?"

Janita yang sedang mengobrol dengan Yuna langsung menoleh karena tersadar gitarnya diambil seseorang. "Oh iya, pakai aja," katanya, lalu ia kembali melanjutkan obrolan dengan Yuna.

Rajendra belum juga memetik gitar coklat milik Janita. Ia masih mengamati bagaimana cara perempuan itu berbicara. Matanya juga ikut bercerita. Terkadang Janita tertawa sebentar, kemudian mendengarkan dengan khidmat apa yang diucapkan Yuna, lalu ia kembali tertawa. Pantas saja Lingga menyukainya. Pantas saja Lingga menjadikannya nyawa dari puisi-puisinya. Bahwa satu hal yang kini Rajendra ketahui, Janita memang pantas untuk mendapatkan semua puisi dari Lingga. Ia pantas dicintai, ia pantas disayangi, dan ia pantas untuk Rajendra lindungi.

Tak mau ada yang mengamati kegiatannya barusan, Rajendra lekas berdeham dan mulai memetik gitar.

To be young and in love in New York City
To not know who I am but still know that I'm good long as you're here with me
To be drunk and in love in New York City
Midnight into morning coffee, burning through the hours talking
Damn

I like me better when I'm with you
I like me better when I'm with you
I knew from the first time, I'd stay for a long time, 'cause
I like me better when, I like me better when I'm with you

RATIMAYA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang