*
ratimaya — pancavimsati
*
Pakde Lito : Ling, Pakde dapat alamat detail rumah bapakmu.
Satu pesan tersebut membayangi Lingga sehingga ia tak bisa tidur. Di hari-hari terakhir ayahnya sebelum masuk bui, Lingga harus mencari pria tersebut. Alamat yang dikirim pakdenya merupakan alamat dekat kampus Lingga. Cukup sulit aksesnya karena harus melewati gang sempit dan kumuh. Selepas pulang dari Sudut tadi, Lingga memutuskan untuk menggunakan jasa angkutan online untuk pergi ke tempat yang ayahnya berada karena mobil tak mungkin masuk ke gang tersebut. Lelah dan pegal yang ia rasa, dipaksakan untuk tiada. Sebab jika Lingga tidak bergerak sekarang, jejak ayahnya akan kembali hilang.
Selama di perjalanan, Lingga merapal doa-doa baik. Ia menganggap kalau kesempatan ini adalah yang terakhir. Meski nanti ayahnya masuk bui, Lingga akan terus mencoba mengerti semua keadaan yang sudah pria itu lalui.
Motor yang Lingga tumpangi sudah masuk ke area yang dituju. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri bermaksud mencari rumah dengan ciri-ciri yang sesuai dengan yang di beritahukan oleh pamannya.
"Bang, rumahnya yang mana?" Pengemudi ojek tersebut merasa heran karena Lingga tidak kunjung berhenti di satu rumah. Ia terlihat kebingungan dan tidak yakin.
Merasa tidak enak dengan pengemudi tersebut, Lingga memutuskan untuk berhenti di pinggir gang. Ia menyerahkan uang pembayaran dan kembali berjalan mencari rumah yang ia tuju. Gang tersebut lumayan sepi karena sebentar lagi adzan Magrib akan berkumandang. Anak-anak kecil sudah masuk rumah, begitupun dengan hewan peliharaan. Hanya saja beberapa orangtua tengah duduk di teras rumah, sisanya lagi bersiap untuk pergi ke mushola.
Gang itu juga hanya merupakan jalan kecil yang lurus, tidak aja jalan lanjutkan setelah rumah yang letaknya paling ujung. Lingga mengecek kembali pesan dari pamannya.
Rumahnya warna hijau. Letaknya paling ujung dekat tembok palang jalan buntu.
Lingga kembali menaruh ponselnya di saku celana. Ia berjalan sampai ke ujung gang. Kakinya berhenti di depan pintu kontrakan warna hijau. Hatinya ragu untuk mengetuk, tapi kalau ia tidak melakukan itu, Lingga akan takut kena kutuk. "Permisi." Tangannya terkepal mengetuk pintu. Tiga ketukan tak dapat respon dari penghuninya.
"Permisi? Ada orang di dalam?" Ia mengetuk lagi. Wajahnya juga melongok ke jendela, bermaksud melihat keadaan di dalam rumah. Kemudian mata Lingga menatap sepatu Converse buluk miliknya.
Pintu terbuka saat Lingga sudah mulai menyerah dan ingin berbalik pulang. Suara pria paruh baya memanggil namanya. Sebuah suara yang sangat ia hapal meski terdengar pelan dan serak. "Akhirnya Ayah ketemu Lingga," katanya.
Spontan, Lingga membalikkan punggung dan menatap pria itu. Di depannya, ada sebuah tubuh yang ingin sekali ia dekap, dua tangan yang ingin ia genggam, dua bahu yang ingin ia rangkul, dan dua mata yang ingin ia tatap. "Ayah?" Sorot mata Lingga menatap tak percaya sosok ayah yang meninggalkannya beberapa tahun yang lalu. Postur tubuh itu sama dengannya, hanya saja sedikit bungkuk.
Ayah Lingga membuka pintu lebih lebar, ia membiarkan Lingga masuk dan segera menutup pintu. Ia merentangkan tangan dan berkata, "Ayah mau peluk Lingga. Boleh?" Dan dengan sekali gerakan, Lingga melesat ke pelukan ayahnya.
Lingga kira sapaan yang pertama kali ayahnya ucapakan adalah kalimat ketidaksukaan akan kehadirannya, atau bertanya mengapa ia datang ke rumahnya. Lingga juga sudah mengantisipasi semua itu. Tapi ini sungguh di luar ekspektasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Romanceyou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish