*
ratimaya — catur
*
Rajendra benar-benar memapah Janita hingga sampai ke dalam rumah. Saat Janita membuka pintu, pemandangan yang pertama kali terlihat adalah kepala Mama yang menyender di bahu Opa. Mama meringkuk di dalam pelukan Opa. Satu tangan Opa pun mengelus dengan lembut kepala Mama. Mereka berdua rupanya tengah menonton berita di televisi tentang presiden yang ditembak secara misterius.
Kabar tentang presiden yang ditembak pun langsung menjadi trending topic di beberapa media sosial. Surat kabar langsung mengeluarkan koran terkait berita tersebut. Wartawan dan jurnalis juga berbondong-bondong mendatangi lokasi kejadian dengan membawa alat rekam dan kamera. Peristiwa ini sangat menggemparkan, membuat geger bangsa Indonesia dalam satuan jam.
Dewangga Mahapati sendiri merupakan pribadi yang amat sangat ramah. Tahun ini ia dua kali menjabat sebagai presiden. Semua utang negara sedikit demi sedikit dicicil pada masa pemerintahannya. Akses jalan, tol laut, bandara, dan tempat-tempat vital lainnya semakin dikembangkan. Sekolah-sekolah dan tenaga pengajar mulai merata di berbagai daerah, terutama bagi mereka yang terpencil. Sembako, BBM, dan harga pokok lainnya tak melonjak. Sejatinya program kerja kabinet Dewangga Mahapati tak menemui kendala, mulus bak jalan yang baru diaspal. Maka dari itu, publik merasa heran dengan peristiwa penembakan yang menimpanya. Publik juga menebak-nebak siapa penembak misterius tersebut dan mengkait-kaitkan penembak dengan isu Joko Amara, si Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang merangkap menjadi koruptor.
Mama lebih dulu memalingkan kepalanya ke arah Janita saat terdengar suara pintu yang ditutup. Mama langsung berlari dan memeluk Janita dengan perasaan yang khawatir.
"Yaya nggak apa-apa? Ada yang luka nggak sayang?" Mama memeriksa setiap detail tubuh Janita. Pandangannya terhenti saat melihat kaki Janita yang terluka.
Mama terkejut. "Yaya, ini kenapa?" Mama berjongkok dan menyentuh dengan pelan luka Janita.
Janita meringis karena Mama cukup keras menyentuhnya, membuat Mama sadar dan meminta maaf. "Cuma keinjak doang, Ma. Tadi banyak orang yang berebut keluar, dan nggak sengaja nginjak kaki Yaya." Janita mencoba memberi penjelasan.
"Udah Yaya obatin?" Tangan Mama menyusupkan helai rambut Janita yang mencuat ke belakang telinga.
"Udah pas di luar stadion sama Rajendra."
Mama lalu menyapa Rajendra, "Halo? Temannya Yaya?"
Rajendra menjabat tangan Mama, lalu mendekatnya ke ke kening, berusaha untuk menyalami. "Iya, Tante, saya teman Janita." Laki-laki itu menyahut sopan.
"Kok Yaya nggak bilang sama Mama punya teman namanya Rajendra?"
"Memangnya Yaya harus bikin daftar laporan teman-teman Yaya, Ma? Kan enggak. Ini aja sama Rajendra baru kenalan secara resmi."
Mama keheranan. "Loh, kok? Kalian satu kampus, kan?" Telunjuk Mama bergantian menunjuk Rajendra dan Janita.
"Iya, Mama. Udah, Yaya mau ambil obat merah buat kaki aku."
Belum juga melangkah, Mama sudah menghentikan Janita. Perempuan itu jadi masih diam di tempat. "Mama aja yang ambil," kata Mama. "Raj, tolong jaga Yaya dulu, ya? Tante mau ambil obat-obatan, makan, minum, sama manggil Jagar." Mama meminta izin, kemudian melesat ke lantai dua.
Opa masih setia duduk di atas sofa dan menonton televisi. Kedatangan Janita ke rumah dengan keadaan kaki yang luka tak membuat Opa mengalihkan pandangannya.
"Opaaa," panggil Janita. "Opa nggak kangen sama Yaya? Yaya sakit, loh. Kaki Yaya bengkak karena diinjak-injak." Janita merengek, tapi Opa tetap tak bereaksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Любовные романыyou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish