*
ratimaya — nawa
*
Sekarang sudah jam satu dini hari, tapi Jagar dan Janita masih terjaga di kamar perempuan itu. Teman-teman Jagar pulang pukul setengah 12 malam, padahal biasanya menginap sampai pagi dan merepotkan Janita dan Mama yang harus memasak sarapan berkali-kali lipat dari biasanya. Rajendra juga, tepat setelah laki-laki itu berkata asal—yang sialnya membuat debar dada Janita lebih kencang—langsung pamit setelah mengangkat telepon dari ibunya. Tipikal anak yang hormat orangtua.
Janita sebenarnya ingin tidur sedari tadi. Matanya sudah merah dan perih. Tubuh dan kakinya juga pegal. Tapi Jagar menahan Janita untuk lekas terlelap, ia justru menyender di bahu kakaknya dengan mata terpejam, membiarkan Janita menahan pegal.
"Gar," panggil Janita pelan dengan menaik-naikan dengan pelan bahunya ke atas, membuat kepala Jagar sedikit terguncang. "Mau cerita."
Jagar berdeham dengan posisi yang belum berubah, seolah gerakan Janita tadi tidak ada efeknya. "Bang Ajen, ya? Ngomong apa aja dia sama lo?"
"Kok lo tau kalau gue mau cerita tentang Rajendra?" Janita merespon dengan kaget. Tangannya menyingkirkan kepala Jagar dari bahunya, membuat laki-laki itu berdesis sebal.
Jagar mengambil posisi tiduran. "Soalnya sebelum nyamperin lo, Bang Ajen digodain sama Bang Mahen dan Bang Aksa." Tangan kanan Jagar mengucek matanya sendiri.
"Digodain gimana?" tanya Janita penasaran.
"Ya, doi kan baru main ke rumah ini pas tadi doang, selebihnya nggak bisa datang gara-gara Bang Ajennya sibuk. Ya, Bang Mahen sama Bang Aksa kaget bukan main saat tiba-tiba Bang Ajen cerita tentang lo di BEM. Mereka pikir, Bang Ajen nggak kenal sama lo. Eh, gonjang-ganjing ketiup angin, ternyata Bang Ajen kenal dan dekat sama lo."
"Itu doang?"
"Iya, soalnya pas abis cerita tentang lo, Bang Ajen pergi ke luar gara-gara Renjana sama Javas jodoh-jodohin lo sama dia." Jagar cekikikan.
"Wah, Renjana sama Javas itu sekali-kali harus gue tampar mulutnya biar nggak seenaknya ngomong," katanya dengan tak terima sambil meremas-remas telapak tangannya sebagai pertanda geram.
"Tapi dia nyeritain tentang guenya kayak gimana?"
"Ya, biasa aja sebenernya. Cuma bilang kalau Bang Ajen kenal lo di BEM." Jagar kini mengambil posisi duduk. Ia menatap secara intens wajah kakak perempuannya. "By the way, dia ngomong aja apa sama lo?"
"Intinya, dia datang tiba-tiba saat gue lagi ngomong sendiri. Lo tau kan kebiasaan gue yang doyan banget ngomong sendiri terus jawab sendiri?" Jagar mengangguk. "Nah, abis itu dia minjem gitar, nyanyiin gue lagu, terus gue nanya ke dia alasannya datang ke sini itu apa. Eh, tau nggak dia jawab apa? Dia jawab mau ketemu gue anjir." Janita bercerita dengan semangat. Matanya juga ikut mengambil ekspresi dan di akhir kalimat, tawa kerasa keluar dari mulutnya.
"Anjir," Jagar juga ikut terbahak sampai harus memegangi perutnya. "Demi apa lo Bang Ajen ngomong gitu? Gila. Gila."
Janita mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara. "Demi Tuhan, Gar, dia ngomong gitu. Eh, sebelum gue bales ucapan dia, Rajendra malah pergi nerima telepon dan pulang setelah itu," katanya seraya meyakinkan Jagar.
"Tapi, ya, Kak, gue penasaran sama plot twist kisah kalian bertiga?" Jagar mengusap-usap dagunya. Ia sok-sokan menebak.
"Kalian bertiga? Siapa aja?"
"Ya, lo, Bang Ajen dan Bang Lingga."
"Udah gila kali lo." Janita mengabaikan ucapan adiknya. Ia berbaring di tempat tidur dan menaikkan selimut sampai di batas dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Romanceyou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish