*
ratimaya — trivimsati
*Mata Rajendra tidak menangkap ayah atau ibunya yang sibuk mondar-mandir di teras rumah. Ia pun tidak menemukan secangkir teh hangat kesukaan ayahnya di meja bundar, tidak pula biskuit kelapa kesukaan ibunya yang selalu ia makan saat menunggu Rajendra pulang ke rumah. Laki-laki ini justru menemukan sosok Lingga berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada. Saat mendengar suara mesin motor yang dimatikan, Lingga mengangkat pandangan.
"Kok nggak masuk, Ling? Ibu sama Ayah ada di dalam, kan?" tanya Rajendra setelah menuntun motornya masuk ke dalam garasi. Kemudian ia menghampiri Lingga dengan mata yang curi-curi pandang ke balik tirai jendela depan rumahnya. Siapa tahu saja tidak ada orang.
Lingga menggeleng, lalu menarik tangan Rajendra untuk duduk di lantai, di sampingnya. "Ibu sama Ayah ada di dalem. Gue sendiri yang mau nunggu lo di depan."
"Ada apa, Ling?" Rajendra meneliti ekspresi Lingga.
"Ada kabar buruk. Ayah gue udah kena pidana. Tembak mati. Jadwalnya lusa, untuk jamnya sendiri, gue nggak tau. Nggak ada info detail lebih lanjut. Tiba-tiba aja dapat info kalau lapas yang jadi tujuan bokap gue selanjutnya adalah tempat para narapidana kelas besar." Lingga menghela napas berat. Ia menatap tanaman hias Ibu Rajendra dengan pandangan sayu. "Jakarta-Nusa Kambangan jauh kan, Raj? Gue nggak siap aja gitu ngelihat Ayah gue mati ditembak tanpa ada gue di sampingnya. Harusnya gue sekarang udah di sana, Raj, udah kasih motivasi, ampunan, serta doa yang terbaik buat beliau. Tapi, coba tebak apa yang gue lakuin? Gue sibuk nggak jelas nyari Ibu gue yang nggak tau ada di mana. Bahkan informasi yang pernah Pakde gue kasih pun, ternyata bohongan, nggak akurat."
"Lo pernah chatting sama Ayah lo, nggak?"
"Pernah, tapi sekali. Setelah itu terputus. Nomornya tiba-tiba nggak aktif. Gue curiga kalau ponsel Ayah gue diambil sama Joko Amara tepat sebelum Ayah dibawa ke Nusa Kambangan."
Pendengaran Rajendra menajam saat ia mendengar nama mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan disebut oleh Lingga. Pasalnya, sosok yang dermawan di depan layar kaca tersebut tidak tercium lagi kabar dan keberadaannya. Sangat simpang siur sekali fakta dan opini yang menyangkut pria tersebut.
"Joko Amara? Si gendut yang suka panjat sosial itu? Yang hobinya pencitraan? Yang pamer tentang kejangkaunya pendidikan di daerah terpencil, padahal itu hasil kerja keras anak buahnya?"
Lingga mengangguk membenarkan ucapan temannya. "Iya, yang itu. Gue tau dari Pakde Lito. Dia dua hari yang lalu ngirim gue email, isinya tentang dalang di balik penembakan yang sebenarnya, yang membuat Ayah gue rela gitu aja nyerahin segalanya cuma buat nutupin kasus mega korupsi yang Joko Amara lakuin," katanya sambil menunjukkan kepada Rajendra isi email dari Pakde Lito, yang mampu membikin Lingga menganga tak percaya sekaligus bergidik ngeri karena jijik .
"Gue heran sama manusia macam dia. Dikasih otak satu malah nggak cukup. CC otaknya kayaknya kurang." Rajendra berdecak, ia mengomel tak henti-hentinya, pun menyumpah serapah segala makian terhadap sosok Joko Amara tersebut. "Terus, langkah selanjutnya yang harus lo ambil apa? Nggak mungkin dong lo nyari tau di mana Joko Amara atau tiba-tiba aja ngadain konferensi pers?"
"Nyari mati gue kalau nekat ngobrol di depan awak media, terus ngasih tau fakta tentang iblis yang satu itu," kekeh Lingga. "Bukan gue, Raj, yang membeberkan semuanya, tapi media. Gue bakal mainkan media di dalam penguakan fakta menjijikkan tentang orang itu. Joko Amara besar karena media, begitu pula akan kecil karena media pula. Langkah pertama, gue bakal kontak salah satu temen gue yang kerja di stasiun TV. Nanti, setelah itu, gue kontak juga jurnalis surat kabar cetak maupun elektronik. Biar jadi headline, biar satu Indonesia tau kalau Ayah gue nggak sejahat itu. Dia cuma boneka wayang, sementara dalangnya lagi asik santai di antah berantah."
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Romanceyou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish