*
ratimaya - caturvimsati
*
"Kalau Tuhan nggak kasih lo izin untuk menjadikan gue jadi pacar lo, gimana?" Ditatapnya Rajendra tepat di manik mata. Iris warna coklat kopi itu bukannya berpaling ke lain arah, justru membalas tatapan Janita dengan dalam, seolah tak ingin main-main.
"Ya, nggak masalah. Seseorang pernah bilang sama gue untuk mencintai orang lain dengan ikhlas, tanpa paksaan. Jadi, kalau Tuhan nggak mengizinkan, ya udah, gue ngalah. Mau seberapa kuat pun gue mencoba bertahan dengan segala ketidakmungkinan, gue pasti akan kalah pada waktunya."
Janita bergumam, "Kalau Tuhan mengizinkan, tapi gue enggak. Gimana?" Ia senang bermain teka-teki masa depan dengan Rajendra. Janita juga ingin tahu seberapa cerdas otak laki-laki itu saat bermain permainan 'seandainya'.
"Itu artinya, Tuhan sebut kita sia-sia."
"Lo salah," koreksi Janita. "kalau begitu keadaannya, bukan Tuhan sebut kita sia-sia, tapi kita berdua adalah sisa-sisa keikhlasan."
Rajendra menatap ke sekeliling. Acara ulang tahun masih berjalan. Ibu dan ayahnya juga sibuk bermesraan dengan anak-anak paud didikan ibunya. "Untuk bahas urusan ginian, lebih baik duduk." Ditariknya tangan Janita oleh Rajendra ke kursi yang terbuat dari bambu yang letaknya di halaman belakang. "Duduk, Jan," katanya mempersilakan.
Halaman belakang rumah Rajendra tidak jauh berbeda dengan halaman belakang rumah Janita. Di situ terdapat jemuran besi, tanaman hias, sebuah kursi bambu yang panjang, ayunan, dan papan tulis warna hitam di dinding dekat sepeda bekas.
"Lo boleh nanya kenapa ada papan tulis hitam di dekat sepeda itu setelah lo menjelaskan apa yang sempat tertunda tadi." Rajendra mengambil alih perhatian Janita yang sejak duduk langsung melihat ke arah papan tulis hitam. "Atau biar lo nggak penasaran. Gue jawab sekarang. Papan tulis itu, digunain saat anak-anak paud tiba-tiba datang ke rumah ini. Ya, cuma buat gambar-gambar abstrak atau nulis abjad dan huruf. Ibu gue yang menyediakan itu untuk anak-anak paud. So, bisa jelasin ke gue kenapa lo bilang kalau kita berdua adalah sisa-sisa keikhlasan?"
Janita menjeda sebentar untuk mengambil napas. Setelahnya, ia kembali melanjutkan. "Lo mikir nggak sih, kenapa Tuhan harus membuat lo mengenal gue lebih dalam semenjak perkenalkan singkat di mobil Tera waktu itu? Sebelum itu semua, jauh dari kejadian itu, lo dan gue nggak lebih dari sekedar teman organisasi kampus. Lo nggak kenal gue dan gue pun demikian. Lo cuma kenal gue dari cerita Lingga dan gue pun begitu. Cuma itu. Seharusnya nggak ada pembicaraan lebih lanjut, nggak ada cerita lo main ke rumah gue, nggak ada alasan kenapa lo meluk gue dengan erat. Seharusnya itu nggak ada karena Lingga yang seharusnya melakukan itu. Kalau dipikir lebih lanjut, lo jahat, Raj, kalau lo benar-benar sayang sama gue lebih dari teman. Karena yang gue pikir, posisi lo saat ini itu diisi sama Lingga. Dia yang selalu ada buat gue sebelum gue kenal lo lebih lanjut. Dan sekarang, gue sama dia semakin nambah jarak. Gue benci, Raj, berada dalam keadaan di ambang batas."
Apa yang Rajendra takutkan ternyata kejadian juga. Jauh sebelum Rajendra menjatuhkan pilihannya terhadap Janita, ia sudah memperhitungkan banyak hal, termasuk apa yang Janita jabarkan tadi. Rajendra berkali-kali berpikir bahwa tindakannya mendekati Janita adalah suatu hal yang salah. Lingga seharusnya mengambil alih semuanya dan Rajendra tidak berhak akan itu. Namun, menimbang apa yang dikatakannya Lingga dini hari tadi, Rajendra semakin kuat menjatuhkan pilihannya, bahwa mengaku atau tidak, Rajendra pada kenyataannya memang menyayangi Janita.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Roman d'amouryou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish