ratimaya — just remember the day that you gave me one percent
Mungkin karena gue sama Janita dari dulu agak kurang dekat dan kalau bicara pun secukupnya, pas sekarang gue pacaran sama dia, banyak banget hal yang baru gue tau. Atau bisa dibilang, hubungan yang kita jalani sekarang itu gak ada ubahnya dengan hubungan kita sebelum pacaran, alias masih lebih baik jadi teman.
Contohnya kayak sekarang. Dia ada di kamar gue, lagi tiduran di kasur sambil asik scroll timeline. Kadang dia ketawa gak jelas, kadang juga sok-sokan jadi komentator atas postingan yang menurut dia gak banget.
"Yang, lo pernah bosen gak sih sama gue?" Ini bukan sekali doang gue nanya ke Janita, tapi berkali-kali. Sewaktu gue telat jemput dia, atau gara-gara gue lupa kalau ada janji ngajak dia ke suatu tempat, gue pasti bakal nanya kayak gitu. Biar gue tau apa yang dia mau, yang dia rasakan. Kalaupun Janita bosen sama gue, ya I'll let her go.
Jawaban pacar gue cuma, "Apaan, sih. Kayak gak ada yang mau diomongin lagi selain itu."
Salah satu hal yang gue tau tentang perempuan itu setelah kita pacaran adalah dia lebih membutuhkan banyak privasi ketika tubuhnya udah ada di rumah. No chats, no calls. Dan itulah yang sering membuat gue frustasi. Gue cuma butuh kabar dari dia. Entah itu cuma sebatas satu sampai dua bubble chat. Tapi yang sering gue dapat adalah tanda centang dua.
Saat gue minta pengertian ke Janita, cewek itu justru marah ke gue. Katanya, gue gak menghargai privasi dia. Gue ganggu acara tidur-tiduran yang dia lakukan, padahal kan gue cuma mau jadi tempat dia meluapkan semua emosi yang dia rasakan. Jadi, gak cuma curhat ke medsos doang.
Kalau ada gue, kenapa Janita lebih memilih curhat di Twitter?
"Jan, let's break up."
"Apalagi, Raj? Ini bukan sekali atau dua kali lo minta kita buat break up. Kenapa, sih? Kenapa lo gak mau cerita sama gue?"
No, Darling. Lo salah.
Bukannya gue gak cerita ke lo, tapi lo yang gak mau kasih kesempatan buat ada di samping gue dan dengerin semua keluh kesah gue.
"Jan, lo pernah mikir gak sih? Sekali aja. Sewaktu lo mau tidur, atau saat-saat lo bengong dan gak tau mau melakukan apa. Pernah gak sih gue gak ngajak lo ngomong? Pernah gak gue stuck di tengah jalan dan membiarkan chat dari lo berakhir dua biru ceklis doang?" Alasan gue selalu nahan jenis emosi yang satu ini adalah gue gak mau kelepasan. Janita perempuan, gue laki-laki. Mungkin kalau gue ngotot ke sesama laki-laki bakal berakhir berantem. Tapi depan gue ini Janita, perempuan yang udah rela dilepas Linggarjati untuk jadi pacar gue.
Gue gak mau out of control.
Janita jalan ke tempat gue berdiri. Air wajahnya mendadak keras. Sorot matanya mendadak dingin, sama seperti Janita yang ngambek di mobil atau seperti Janita yang gue kenal jauh sebelum dikenalkan sama Lingga.
"Raj, lo kan tau gue gak bisa segampang itu terbuka sama orang. Gue sukanya sendirian. Makan sendiri, jalan-jalan sendiri, dan banyak hal yang mau gue lakuin sendirian. You won't let me free, Raj. Lo bikin gue gak bisa bergerak ke mana-mana. Gue bahkan hampir stres karena lo selalu nge-chat gue untuk nanyain gue ada di mana, sama siapa, udah makan atau belum. Please, I can handle myself," kata Janita panjang lebar. Dia hampir teriak di depan gue.
"So, why don't you just go date yourself? Go away from my room, then you can be free as you wish." Damn. Gue gak mau ngomong ini, tapi apa yang Janita ucapkan barusan sangat-sangat menyakiti perasaan gue. Laki-laki juga punya hati. "Dan lo cuma diem aja, Jan, saat gue mengirimkan banyak bubble chat atau misscall. Lo gak mencoba untuk ngasih tau gue lo ada di mana, lo udah makan belum, lo jalan sama siapa. I gave you more space, Janita. More privacy. Gue gak marah saat lo tiba-tiba nge-cancel acara kita berdua. Kalau menurut lo gue menganggu, maka menurut gue lo gak punya perasaan. Gue bisa marah, Jan. Gak cuma terus-terusan diam sambil lihatin lo di kafe tapi gak jawab telepon dari gue."
Pada puncaknya, satu kalimat yang sebetulnya gak mau gue dengar, lolos dari bibir Janita. Sebuah kalimat paling keramat saat gue memutuskan untuk make her to be my half part. Setiap kita berantem, gak mau gue tiba-tiba marah ke Janita terus bilang, "Let's end up here."
But she did it.
With no tears.
"We end up here," katanya singkat, dan secara tergera Janita keluar dari kamar gue.
Kalau udah kayak begini, siapa yang paling disalahkan?
Kalau di sini ada Lingga, bisa-bisa gue bonyok di tempat.
*
Darl, wash your hand. Pack your clothes. Then, go.
As you wish.
As I wish.
As we wish before.
Atau mungkin, keadaannya dibalik.
Just stay. Don't go.
Hold me or kiss me, like we used to be.
Gue selalu suka cara sederhana yang Janita tampilkan untuk bikin gue merasa nyaman.
Laki-laki penuh ego. Sekali egonya butuh dikasih makan, dia bakal rakus.
Karena gue juga gitu.
"Raj, kalau semisal kita putus, lo bakal kayak gimana?" Itu pertanyaan yang Janita lontarkan beberapa minggu yang lalu, jauh dari apa yang menjadi kenyataan pada hari ini.
Pertanyaannya membuat gue gusar dan diserang ketakutan secara mendadak. "Apa, ya?" Gue berpikir sejenak. "I'll let her go. Maybe."
Janita cemberut. "Kok gitu?" protesnya ke gue.
"Ya, terus gimana? Masa gue larang?"
"Wah, gak cinta lagi ya lo sama gue?"
"No. Hahaha. I mean, lo bisa jadi apapun tanpa gue. Jan, gue gak mau egois. Lo itu milik siapa pun, termasuk dunia dan semua pilihan lo. Gak ada yang bisa melarang, sekalipun gue."
"Beneran?"
"Yes, Janita. Yes." And I kissed her cheeks. Then, moved to her lips. "But please, kalau semisal lo kepengen kita berakhir, bilang sama gue. Biar kita sama-sama duduk dengan kepala dingin. Gue gak mau lepas kendali, so you do. Karena sejak awal gue mulai mencoba untuk lebih dekat beberapa senti sama lo, gue mau pas kita putus, gak jadi orang asing kayak yang lain."
So, Jan, are you fine without me?
Can you remember every pieces about we?
Just remember... the day that you gave me one percent.
Can you remember that?
*
Gue lagi jatuh cinta sama POV kesatu, jadi bikin extra make POV satu juga.
KANGEN BANGET 😭😭😭😭
Ini based on true story kisah cinta gue yang skskkskskskskskkskss pokoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Romansayou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish