saptavimsati - luka dan obat

1.2K 252 42
                                    

*

ratimaya - saptavimsati

*


Indonesia tengah geger pagi ini. Berita tentang ditangkapnya penembak misterius membuat masyarakat Indonesia menggeleng tak percaya di depan televisi mereka masing-masing. Pasalnya, pelaku penembak tersebut secara terang-terangan memaparkan latar belakang dan sebab akibat yang ada di balik peristiwa ditembaknya Dewangga Mahapati. Dengan wajah yang ditutupi masker, pelaku juga memberitahu bahwa ia bergerak di bawah pimpinan pejabat yang sampai saat ini berada di pemerintahan pusat.

Berita tersebut banyak muncul di televisi, koran, media online, dan sosial media, di mana orang-orang dapat dengan mudah mendapatkan informasi kapan saja. Seperti koran yang saat ini Mama Janita baca. Di situ terdapat kutipan dari pelaku penembakan.

Saya memang bersalah dan mengakui itu. Saya bekerja di bawah perintah seseorang yang erat kaitannya dengan Indonesia. Saya tidak bisa menolak apalagi melawan. Jika seperti itu, saya akan mati lebih dulu dan saya tidak ingin mati sebelum saya dan anak saya bertemu. Tapi sekarang saat semuanya sudah terkuak, saya siap mati sebab sudah bertemu dengan anak saya meski waktunya sedikit sekali.

"Ini beneran ayahnya Lingga, Ya?" Mama masih memandangi koran. Matanya kemnali memeriksa sebuah nama yang kini dikenali sebagai pembunuh misterius yang tidak lagi misterius. "Kok bisa, ya? Terus sekarang Lingga gimana, Ya?"

"Nggak tau, Ma. Chat dari aku juga belum dibalas. Nggak tau deh dia ikut pembukaan PORAF atau enggak." Janita mengangkat bahu. Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celananya dan pamit kepada Mama. Hari ini pembukaan PORAF dan seluruh panitia sudah ada di sana sebelum acara dimulai. "Yaya pergi dulu. Bye!" pamitnya sambil mencium pipi Mama.

Sebetulnya Janita khawatir dengan Lingga, meskipun kemarin ia diserang dengan kalimat yang mampu menyakiti hatinya tanpa terkecuali. Tapi bagaimanapun juga, Janita pernah menjadi wadah dari segala cerita Lingga, termasuk tentang ayahnya. Dan jika keadaannya seperti ini, Lingga sudah pasti akan menepi dari rutinitas dan mengurung diri di kostan sambil menutup telinganya.

Namun, dugaan Janita salah. Lingga kini sudah berdiri di luar pagar rumah Janita denhan bersender di mobilnya sambil bermain ponsel.

Tidak ada air mata. Tidak ada kekesalan. Tidak ada lagi emosi yang mengelilinginya.

"Loh, Ling? Kok di sini? Ngapain?" Telunjuk Janita mengarah ke Lingga. Sambil berjalan pelan, Janita menatap Lingga keheranan.

Lingga terkesiap. Ia memasukkan ponsel dan segera membuka pintu mobil bagian kiri untuk Janita. "Mau minta maaf," katanya.

Janita tak membalas. Ia masuk ke mobil Lingga dan Lingga pun begitu.

"Masih marah?" tanya Lingga dengan kaki yang menginjak gas, membuat mobil melaju di jalanan.

"Maksudnya?" Janita bertanya balik.

"Lo masih marah?"

"Nggak terlalu." Janita menjawab jujur.

Selepas itu hening. Lingga fokus menyetir dan Janita sibuk diam dengan pikirannya sendiri. Seharusnya Lingga tidak ada di sisinya saat ini. Posisi yang diisi Lingga harusnya ditempati oleh Rajendra. Terlebih lagi ciuman yang semalem dilayangkan singkat oleh Rajendra tersebut, membuat Janita semakin bertanya-tanya sebanyak apa porsi perasaan untuk laki-laki itu.

"Lo boleh benci gue kok, Jan. Gue bakal terima itu." Mobil Lingga membelok ke arah parkiran Fakultas Ekonomi, selaku fakultas yang paling dekat dengan sekretariat.

RATIMAYA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang