*
ratimaya - sunya
*
Kalau dihadapkan dengan dua pilihan, yakni mengerjakan duapuluh lima soal pilihan ganda yang berisikan hitung-hitungan dan menghafal, Rajendra akan memilih opsi yang kedua.
Rajendra tidak terlalu menyukai angka. Apa pun itu. Termasuk kalender, kalkulator, bahkan keypad ponselnya sendiri. Sekumpulan angka mampu membuat Rajendra gila. Tidak, ia tidak sebenci itu. Buktinya Rajendra tetap mengerjakan tugas yang berisi hitung-hitungan saat ia bersekolah dan kuliah. Ia juga tidak takut melihat kalender, kalkulator, atau keypad ponselnya. Rajendra hanya tidak suka, bukan benci.
Rajendra suka berbicara dengan dan dihadapan orang banyak. Ia punya banyak sekali kawan dari berbagai golongan. Sifatnya yang ramah membuat dirinya mudah untuk akrab dengan orang yang baru dikenal. Rajendra juga baik hati, belum pernah marah-marah saat anggota telat mengumpulkan laporan, atau tidak pernah ketahuan membentak bawahannya di BEM.
Dikarenakan kemampuan berbahasanya tersebut, Rajendra banyak sekali ditawari untuk masuk ke UKM atau organisasi di luar kampus. Orang-orang masih bertanya-tanya bagaimana bentuk otak milik Rajendra, rasanya tidak mungkin seorang manusia biasa mampu membagi fisik, waktu, dan pemikirannya untuk aktif di berbagai UKM, organisasi, dan kegiatan sosial lainnya di masyarakat. Mustahil kalau Rajendra tidak merasa capek. Ia selalu merasa tulang-tulangnya patah secara perlahan saat sampai di rumah.
Ibu dan ayah Rajendra sangat menyayangi anak itu lebih dari apa pun. Posisi sebagai anak tunggal membuat Rajendra mendapatkan perhatian yang sangat-sangat cukup dari orangtuanya. Setiap langkah yang ia ambil, selalu saja didukung tanpa ada perdebatan yang berarti.
Ia punya kasih sayang yang amat sangat cukup dari orang-orang yang ada di rumahnya.
Itu semua memang benar. Tapi, ibu dan ayah Rajendra tak tahu saja bahwa anak laki-lakinya selalu menahan perih di punggung dan bahu akibat terlalu sering membawa buku-buku dan laptop di tasnya. Dengan segala harapan orang tua kepadanya, Rajendra memendam sendiri rasa sakit akibat banyak orang yang mencoba menyingkirkannya diberbagai kesempatan. Orang-orang yang iri dengan pencapaian Rajendra berkali-kali menjatuhkan Rajendra secara terang-terangan. Dari mulai membakar proposal, mengempesi ban mobil, membuat infomasi rapat palsu, dan lain-lain.
Tidur bagi Rajendra juga merupakan mitos. Dari 24 jam, Rajendra hanya bisa tidur 3-4 jam sehari, itu pun kalau bisa tidur nyenyak. 21 jam lainnya ia habiskan di berbagai kegiatan. Mulai dari pagi hari, kalau tidak ada kelas pagi, Rajendra akan membantu ibu untuk mengajar di paud terdekat. Ibunya bukan seorang pengajar, ia hanya lulusan SMA yang sangat peduli dengan dunia pendidikan. Paud tempatnya mengajar pun bukan paud yang didirikan oleh swasta. Paud tersebut ada karena ibu Rajendra yang menggagasnya. Hal itu dilatarbelakangi oleh ibu yang merasa kasihan dengan anak-anak yang seharusnya bersekolah justru membantu orang tua mencari nafkah.
Awalnya Paud Mimpi, nama paud yang didirikan ibunya, hanya memiliki satu orang murid. Namun, lama kelamaan anak-anak kecil mulai berdatangan, apalagi saat Rajendra berkeliling Jakarta untuk mencari anak-anak yang ingin bersekolah tapi memiliki kendala. Paud Mimpi kini memiliki setidaknya 20 orang pengajar yang bergantian mengajar setiap harinya. Dari yang semula hanya ibu dan Rajendra, kini bergabung orang-orang baik hati lainnya.
Nama Mimpi pada paud yang didirikan ibu Rajendra bukanlah sekedar nama. Menurut ibunya, mimpi adalah kunci harapan seseorang. Memang menyakitkan saat mimpi tersebut tak sesuai dengan kenyataan. Tapi mimpi mampu membuat manusia lebih merasa berguna dan bersemangat untuk membuat mimpi tersebut jadi realita. Anak-anak kecil harus mempunyai mimpi. Mereka harus diajarkan bagaimana memiliki rasa semangat untuk hidup, rasa bersyukur, rasa bahagia dan berharga dengan tubuh dan kemampuannya sendiri. Paud Mimpi bukan hanya mengajarkan huruf dan angka untuk anak usia dini, tetapi permainan dan mata pelajaran berkhayal. Iya, berkhayal menjadi apa pun yang anak kecil itu inginkan. Biasanya pengajar akan mencontohkan dengan kalimat, "Hari ini siapa yang mau jadi dokter?" Atau "Semalam mimpi apa? Ayo maju dan ceritakan kepada teman-teman. Nanti Ibu kasih hadiah untuk kalian."
Mungkin bagi sebagian orang dewasa mata pelajaran berkhayal itu pelajaran tak masuk akal. Tapi untuk anak kecil, semuanya menjadi masuk akal di pikiran.
Kalau sudah selesai membantu ibunya mengajar, Rajendra akan langsung pergi ke kampus. Biasanya sebelum kelas dimulai, Rajendra akan pergi ke sekretariat BEM untuk mengecek agenda kegiatan, atau sekedar berleha-leha sambil menunggu jam kuliah dimulai.
Khusus untuk hari Minggu, Rajendra tidak ingin kemana-mana, kecuali ada kelas yang khusus mewajibkannya untuk datang. Hari Minggu bagi Rajendra adalah hari dinonaktifkannya segala kegiatan yang menyibukkan. Ia akan bangun terlambat, lalu mandi dan makan. Setelah itu, ia akan tidur kembali hingga sore menjelang. Tubuhnya benar-benar istirahat jika hari Minggu.
"Raj, ada teman kamu di ruang tamu. Katanya mau minta tanda tangan untuk proposal." Suara ibunya terdengar di telinga Rajendra. Ia sudah bangun dari sepuluh menit yang lalu, tapi tubuhnya masih di atas kasur dengan posisi telentang dan memegang ponsel.
Masih dengan posisi yang sama, Rajendra menyahut, "Tolong bilangin ke temen aku, Raj mandi dulu, Bu."
Memang sudah kalau jadi orang yang memegang peranan penting di suatu organisasi. Di mana pun dan kapan pun, Rajendra akan dikejar dengan tanda tangan di atas kertas HVS. Kalau tanda tangannya bisa menghasilkan uang, Rajendra sudah kaya dari dulu.
Tak membutuhkan waktu lama, Rajendra pergi ke ruang tamu untuk melihat siapa yang menunggunya. Karena banyak organisasi yang ia pimpin, Rajendra kadang tidak bisa menebak sekretarisnya sendiri.
"Baru bangun tidur?" Sena menegakan kepala saat orang yang ditunggunya sedari tadi muncul di hadapannya.
"Tau sendiri kerjaan gue kalau hari Minggu kayak gimana. Ibaratnya gue ini raja, kalian semua para patih yang ambil alih pekerjaan." Rajendra mencoba bercanda sambil meraih proposal acara yang Sena taruh di atas meja.
"Nanti malam ke festival budaya nggak lo?"
Rajendra menutup proposal yang sudah ia tanda tangani, lalu menyerahkannya kembali kepada Sena. "Nggak tahu, malas gue lihat acara kayak begitu. Pasti rame banget." Rajendra berucap dengan santai.
"Yakin nggak mau datang? Gue denger dari anak BEM, Janita katanya datang buat lihat Sheila On 7."
"Janita yang mana?"
"Gebetannya Lingga."
Hanya ada satu Janita yang pernah Rajendra lihat. Janita anak Seni Musik yang selalu kedapatan pakai jaket jeans dan sepatu Converse abu-abu atau terkadang merah marun. Janita yang sering kedapatan membawa gitar ke kampus. Janita yang rambut hitam sebahunya selalu ia kuncir. Janita yang suka memesan soto ayam dan es teh manis di kantin Mang Eyop, kantin fakultasnya. Dan Janita yang membuat Lingga selalu tersenyum saat melihat ponsel.
Janita yang itu.
"Lah, hubungannya sama gue apa?" Rajendra keheranan. Pasalnya, ia tidak dekat dengan Janita, meskipun ia dan perempuan itu dalam organisasi yang sama.
Sena yang dihadapannya terkekeh. "Lihat aja nanti, pasti Lingga ngajak lo buat nemenin dia pdkt," tebak Sena yang sudah pasti akan jadi kenyataan.
"Tapi sumpah, Sen, gue paling anti kalau acara happy-happy harus dibuka sama jajaran presiden dan pemerintahan. Muak gue sama mereka semua."
Sena memukul lengan Rajendra dengan kertas proposal yang digulung. "Sembarangan aja lo kalau ngomong. Urusan yang terjadi di pemerintahan, biarkan pemerintah yang turun tangan. Masyarakat kayak kita tinggal nonton doang. Lagian, contoh kayak begitu tuh gak usah jauh-jauh ambil sampel pemerintahan, Raj. Lihat aja kampus kita kayak gimana? Gak jauh beda, kan?
Rajendra tidak terima. "Nggak bisa gitu, Sen," protesnya. "Kalau rakyat merasa ada yang nggak beres di pemerintahan, masa mau diam aja?"
"Emangnya lo mau lapor ke siapa? Pemerintah udah ngebentuk koalisi di mana-mana. Kalau ketahuan ngomong beginian, bisa ditangkap kita, Raj. Sedikit berbicara, takutnya salah sangka dan dituduh mencemarkan nama baik. Sekarang ada lho undang-undang yang membahas tentang itu."
"Coba aja, semua oknum yang terlibat di kasus pembunuhan dan korupsi itu muncul semua ke permukaan."
Sena berdecak. "Terus, habis muncul mau diapakan? Mau lo bantai kayak zombie di Resident Evil? Lagi pula, nggak semudah itu sejak kebebasan pers mulai mendapat kecaman lagi," sambungnya kemudian. Lalu, setelahnya hening merambat ke arah mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Roman d'amouryou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish