*
ratimaya — sas
*
Lingga dan Janita sudah berada di dalam mobil. Perjalanan menuju kampus baru dimulai sejak lima menit yang lalu. Begitu sampai di pintu keluar perumahan Janita, mobil Lingga bergabung dengan deretan kendaraan lainnya yang mempunyai tujuan masing-masing.
Bagian dalam mobil Lingga rapi, tidak ada bekas minuman ataupun sampah lainnya, persis seperti mobil baru. Wangi mobil Lingga juga wangi bebungaan, bukan vanila atau buah-buahan seperti mobil-mobil pada umumnya.
"Gimana kakinya? Udah beneran mendingan?" Lingga bertanya saat mobilnya berhenti karena lampu merah.
Janita menggerakkan kakinya sedikit, bermaksud menunjukkan keadaan kakinya yang baik-baik saja. "Udah, kok. Lo kenapa khawatir banget, deh?"
Laki-laki di samping Janita terkekeh. Ia memalingkan wajahnya melihat ke gedung pencakar langit di samping kanan mobil. "Nggak tahu, Jan. Khawatir aja, gitu. Mau gue cari jawabannya sampai kapan pun tetap aja nggak ketemu."
Lingga kembali menatap lurus ke depan, lalu beralih ke Janita. "Mungkin karena gue emang sayang sama lo. Gue rasa itu cukup menjawab semua tanya di kepala kita berdua."
Mobil kembali melaju, sementara Janita menjadi kaku. Jujur, Lingga adalah orang pertama yang secara terang-terangan mengatakan kalau laki-laki itu menyukainya. Selama ia hidup, baru Lingga yang tetap berada di sisinya meski sudah berkali-kali pula Janita hiraukan. Tapi sepertinya kini tidak bisa Janita lakukan lagi. Lingga baik. Sangat-sangat baik untuk Janita yang selalu menampik. Mungkin nanti ada saatnya Janita mulai menerima tanpa ragu sosok Lingga untuk menjadi seseorang yang kelak menjadi prioritasnya nomor lima. Iya, peringkat prioritas nomor satu sampai nomor empat ditempati oleh keluarga, sahabat, musik, dan organisasi.
"Dulu waktu gue tinggal di Malang, gue selalu membayangkan gimana rasanya jadi warga Ibukota. gue mau tahu rasanya macet-macetan tiap pagi dan malam. Atau gue mau tahu rasanya hidup di antara gedung pencakar langit yang saling berhadapan."
"Gue kebalikan dari lo, ling. Gue mau tinggal di wilayah yang nggak terlalu bising. Gue mau pergi ke wilayah yang emang masih sejuk, masih banyak sawah, masih banyak sungai, dan oksigen bersih. Jakarta terlalu berisik, Ling. Jakarta terlalu berdebu."
"Coba deh, lo ambil handphone gue di tas, di resleting paling depan." Lingga memberi perintah.
"Buat apa?"
"Ambil aja."
Janita akhirnya mengambil handphone Lingga dengan rasa was-was. Menurutnya, mengambil barang orang meskipun sudah diizinkan, tetap saja melanggar privasi.
"Coba buka lock handphone gue. Kodenya 0000." Lingga kembali memberi perintah, membuat Janita segera membuka kunci handphone tersebut.
Hal yang pertama kali Janita lihat di ponselnya adalah wallpaper gedung pencakar langit ketika sore menjelang. Cahaya kemerahan dari matahari membuat gedung itu membentuk siluet kehitaman.
"Udah dibuka?" tanya Lingga. Janita mengangguk. "Sekarang klik galeri, terus cari folder yang namanya Batavia."
"Nggak apa-apa gue buka galerinya?"
"Emang kenapa? Toh, gue nggak nyimpen yang aneh-aneh."
Perempuan itu menurut, lalu mencari folder Batavia di galeri Lingga. Kebanyakan foto-foto yang ada di galeri Lingga adalah kumpulan foto materi yang dosen terangkan dan hasil fotografinya. Lingga juga menyimpan beberapa meme yang kocak. Tidak ada foto keluarganya dan tidak ada pula foto Janita.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Romanceyou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish