*
ratimaya – dwitrivimsati
*
Lingga masih ingat pesan ayahnya sewaktu ia kecil. Di dalam pangkuan ayahnya, Lingga mendengar ayahnya berpesan, bahwa jika nanti ayahnya meninggal dunia, ia ingin dikuburkan di tanah kelahirannya di sebuah desa di Malang. Tempat di mana ayahnya tumbuh dan berkembang. Sebuah lingkungan yang pernah ia rasakan bagaimana sejuk dan ramah alamnya. Ayah Lingga ingin ia dimakamkan di tempat di mana ia membuang semua kenangan, seperti bermain di sawah, adu layangan di tanah lapang, memelihara ikan dan ayam, atau pun berangkat jalan kaki menuju sekolah secara berkelompok dengan kawan-kawan. Maka dari itu, sejak Lingga mendapat telepon dari seseorang yang bertugas di tempat ayahnya di tahan, tubuh Lingga mendadak ambruk. Lingga belum berdoa untuk ayahnya, belum juga menerima semua pengakuan dosa-dosanya, tapi saat petugas tersebut menyampaikan ke inti informasi, Lingga tak percaya bahwa ayahnya sudah putus nadi.
Semuanya mendadak gelap. Banyak sekali awan hitam di atas kepala Lingga, semacam adegan pembukaan di film-film fantasi. "Pakdeeeee!," teriaknya, membuat Pakde Lito datang tergesa-gesa menghampiri Lingga. Pria yang tadi sedang menonton pertandingan antara Persib Bandung melawan Arema Malang tersebut langsung memegang pundak laki-laki itu, membawa tubuh ringkih yang semakin kurus itu ke dalam pelukannya. Pakde Lito juga tak lupa merapalkan kalimat penenang tak putus-putus.
"Sing sabar, Le. Gusti Allah mboten sare," bisik Pakde Lito. "Hidup dan mati kan cuma beda tipis. Salah langkah sudah pasti akan jatuh. Yang Memiliki sudah ingin bapakmu pergi. Sing ikhlas. Kalau kamu masih merasa nggak terima, jalan menuju atas yang dilalui bapakmu nggak akan lancar."
"Untuk yang terakhir kalinya pun, aku nggak ada buat dia. Aku nggak berguna." Lingga menatap Pakde Lito lekat. Tangannya mencengkram bahu Pakde Lito dengan erat. "Aku harus apa?" gumamnya kelewat putus asa.
Helaan napas terdengar dari arah Pakde Lito. Mata coklat kopinya tersebut melihat ke arah anak laki-laki di hadapannya. Sejenak, mata Pakde Lito memejam, kemudian kembali terbuka. "Terima kenyataan, Ling. Sebanyak apa pun kamu memaki diri kamu sendiri karena nggak ada di sisi Luhur saat dia pergi, nggak akan mengubah apa pun. Bapakmu wes dhuwe pernjanjian karo Gusti Allah. Umur empat bulan di dalam kandungan eyang putrimu, Luhur sudah ditentukan mati, jodoh, atau rezekinya, Ling. Kematian itu sudah pasti. Kamu nggak bisa maki-maki."
"Tapi sekarang masalahnya adalah Ayah nggak punya siapa-siapa lagi selain aku, Pakde. Istri pertamanya udah nggak peduli sama dia. Sedangkan ibuku, sama aja, justru lebih parah. Ayah cuman punya aku. Sedangkan aku sekarang nggak tau harus gimana." Lingga tertunduk lesuh. Surai hitamnya berantakan. Bajunya penuh keringat dan air mata. "Hidup udah susah, masa mati pun susah? Ayah kan bukan orang jahat, Pakde."
"Justru itu, Ling. Kamu satu-satunya harapan hidup dan mati Luhur. Lentera dia cuman kamu. Tujuan dia ke Jakarta adalah untuk kamu juga. Oleh sebab itu, ikhlas, Ling. Ikhlas. Gusti Allah mboten sare." Pakde Lito kembali menyemangati. Lalu, Pakde memaksa Lingga untuk bangkit. Kedua tangan rapuhnya mengusap jejak air mata yang ada di pipi Lingga, menepuk-nepuk pipi anak laki-laki itu untuk sekedar berbagi energi positif. "Udah, nangisnya tolong diberhentikan. Pakde akan bantu kamu. Secepatnya kita ke Cilacap, terus tancap gas ke Malang. Sambut kematian bapakmu dengan membuktikan kepadanya kalau kamu itu ada di samping dia, di sisi liang lahat."
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Romanceyou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish