panca - aneh

2.3K 369 26
                                    

*

ratimaya — panca

*

"Bohong ya kamu sama Mama?" Mama masih mengintrogasi Janita meski sudah berkali-kali perempuan itu menghela napas dan mengelak.

"Mama percaya kan sama Yaya? Yaya itu nggak suka sama orang yang terlalu sibuk." Janita mencoba berdiri dengan bahu Jagar yang menjadi tumpuannya.

"Dia itu ya, Ma, orangnya super sibuk. Hadir di rapat aja jarang. Tapi selalu nyuruh-nyuruh. Terus, kalau lagi nggak ada kelas, Yaya suka lihat dia sibuk foto-foto nggak jelas. Dari mulai batu, semut, pasir, sampai sampah pun dia foto. Aneh tau, Ma." Janita masih senantiasa menghentikan persepsi Mama kalau ia menyukai Rajendra.

Mama menyerah. Ia akhirnya pergi ke kamar dan menugaskan Jagar untuk menggendong Janita ke kamarnya. Tapi anak laki-laki itu menolak. Mengendong Janita ke lantai dua bukanlah opsi yang bagus. Selain karena faktor berat badan Janita, lantai yang licin menjadi faktor lainnya. Jagar tidak mau disalahkan oleh Mama dan Opa jika Janita jatuh di tangga karenanya. Maka dari itu, yang Jagar lakukan kini adalah memapah Janita, sama dengan yang Rajendra lakukan.

"Kok lo bisa kenal manusia super sibuk itu?"

Kini mereka berdua sudah sampai di kamar Janita. Kamar dengan nuansa putih ini sudah perempuan itu tempati sejak kelas satu SD. Di pojok kanan terdapat cermin panjang guna melihat pakaian yang dipasangkan di tubuh, juga ada gitar coklat yang sewaktu-waktu Janita mainkan saat ia tidak sedang ada kegiatan. Di samping meja belajar yang di atasnya ada laptop dan buku-buku kuliah, ada rak buku yang dipasang di dinding. Rak buku itu dipasang oleh Papa saat Janita kelas satu untuk menaruh buku belajar agama, buku belajar membaca, majalah Bobo, komik Donald Duck, dan juga seri petualangan Lima Sekawan. Tapi kini rak itu berubah menjadi tempat penyokong dari novel-novel yang Janita beli. Kumpulan majalah Bobonya sudah Mama loak, dan kumpulan komik sudah Papa berikan kepada saudara-saudara Janita. Buku yang bertahan lama hanyalah seri Lima Sekawan.

"Kepo banget sih, lo!" ketus Jagar sambil membaringkan kakak perempuannya itu ke tempat tidur. Ia dengan telaten menaikkan satu persatu kaki Janita.

Mata Janita terpejam untuk beberapa saat, tapi kembali terbuka. "Dia aneh." Janita berkata lirih sambil menaikkan selimutnya sampai menutupi dada.

Merasa tertarik dengan percakapan ini, Jagar memutuskan untuk duduk di sisi kasur Janita. "Aneh kenapa?" Jagar berkata lembut. Satu tangannya mengusap kepala Janita.

"Kalau lo ngalus begini, yang ada gue bisa suka sama lo."

"Lemah! Baru digituin sama gue udah baper, belum digituin sama Bang Ajen." Jagar mencibir dengan menyentil kening Janita.

Ini sudah keempat kalinya Jagar menyentil dahi Janita. Dalam hati, perempuan itu mencatat perlakuan Jagar yang menurutnya semena-mena itu. Kalau ia sudah sembuh, sudah dapat berjalan lagi, Janita akan mencubit pipi Jagar dengan sangat keras, sekeras anak laki-laki itu menyentil jidatnya. Atau kalau tidak mengigit, Janita akan menjambak rambut Jagar, lalu mengigit bajunya.

Iya, seaneh itu hubungan kakak-adik mereka.

"Gue ulang lagi, kenapa lo merasa aneh sama Bang Ajen?"

"Gar, dia itu ketua BEM kampus gue, dan gue menjabat sebagai bendahara. Kita berdua nggak begitu dekat. Dia aneh, Gar. Kerjaan dia kalau di kampus itu rapat di satu organisasi ke organisasi lainnya. Dia sering kecapekan kalau mau rapat mingguan."

"Udah itu doang?"

"Dia nolongin gue, Gar, pas di stadion. Gue digendong di punggung dia. Terus dia ngebersihin kaki gue pakai air mineral dan berlanjut dengan kejadian di ruang tamu tadi. Gue merasa aneh dengan diri gue sendiri. Gue merasa sangat dekat dengan Rajendra, padahal kita berdua baru berkenalan secara resmi pas waktu di mobil Tera. Lingga, yang notabenenya baik banget ke gue, nggak pernah tuh ada perasaan dekat sama sekali." Janita berbicara dengan mata yang menatap plafon kamar.

RATIMAYA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang