tri - di perjalanan

2.3K 419 44
                                    

*

ratimaya — tri

*

Tera memaksa untuk menyetir dan membiarkan Rajendra dan Janita duduk di kursi penumpang. Perempuan itu keras kepala mempertahankan argumennya saat Janita memberi saran bahwa Rajendra saja yang menyetir. Tera sangat menyayangi mobil pemberian mamanya ini. Mobilnya bukan mobil mahal, tapi tetap saja mahal sebab mobil adalah benda yang harganya jutaan rupiah.

Enggan berdebat lebih lanjut, Janita menghadapkan kepalanya ke arah jendela. Dahinya juga beberapa kali mengenai kaca, membuat perempuan itu meringis untuk beberapa saat.

Seharusnya hari ini ia melihat Sheila On 7 tampil di atas panggung. Namun, karena insiden penembakan tadi, orang-orang dievakuasi dan lokasi kejadian disterilkan. Padahal, Janita sangat menunggu band asal Yogyakarta tersebut. Janita tahu Sheila On 7 dari Papa.

Waktu itu Papa bermain gitar di pekarangan rumahnya pada malam Minggu dengan ditemani kopi sachet dan cemilan singkong rebus. Tangan Papa memetik gitar, sementara bibirnya ikut bernyanyi senada dengan irama dari gitarnya sendiri. Janita yang duduk di samping Papa sambil memakan singkong rebus hanya menatap Papa dengan bangga. Ia baru belajar berbagai chord pada saat itu, dan belum mencoba menyelaraskan nyanyian dan petikan gitarnya.

"Itu lagunya siapa, Pa?"

Papa sudah selesai bermain gitar. Ia menaruh gitar berwana hitamnya di kursi samping kanan Papa. "Sheila On 7. Lagunya enak-enak, Ya. Papa paling suka sama lagu Bunga di Tepi Jalan." Kedua jempol tangan Papa terangkat ke atas, mengisyaratkan bahwa lagu Bunga di Tepi Jalan memang sangat cocok di telinga saat didengarkan.

"Papa punya albumnya?"

"Ada. Papa koleksi semua albumnya. Yaya mau lihat?" Papa menawarkan kepada Janita.

Kepala Janita mengangguk. "Mau," katanya dengan antusias.

Kemudian Papa menggandeng Janita yang saat itu baru masuk SMP, membiarkan gitar hitam, kopi, dan sisa singkong rebus itu tetap berada di teras rumah. Pada malam itu, Papa tidak hanya mengenalkan Janita pada Sheila On 7, tetapi juga Dewa 19 dan Kerispatih.

Asik melamun, Janita tak sadar kalau tangan kanan Rajendra membuat batas antara kepalanya dan kaca mobil. Rajendra menahan agar kepala Janita tidak terbentur pinggiran kaca.

"Udah bengongnya?" Rajendra menurunkan tangan saat Janita sudah mengalihkan pandangannya ke depan. "Ngelamunin apa?"

"Emang kita deket banget ya sampai gue harus cerita-cerita ke lo?"

"Nggak deket. Tapi secara teknis kita satu organisasi."

"Tetap aja nggak pernah kenalan secara resmi. Lo nggak pernah merangkul ramah para anggota lo. Lo selalu sibuk wara-wiri ke berbagai lomba dan membiarkan Lingga mengatur semuanya. Gue sangsi, pas rapat demisioner lo nggak bisa mempertanggungjawabkan posisi lo."

Rajendra menghela napas. Ia tidak ingin terpancing emosi meski saat ini ingin marah. Selalu saja Rajendra yang dipandang tidak becus dalam mengurus BEM. Ia memang kerapkali absen pada beberapa kali pertemuan, tapi bukan berarti Rajendra tidak memberi arahan ke bawahannya, terutama Lingga. Justru semua yang dilakukan Lingga adalah instruksinya.

"Ya udah, sekarang kita kenalan." Tangan Rajendra terulur ke arah Janita. Perempuan itu justru mengernyit keheranan. "Katanya kita belum pernah kenalan secara resmi. Nama gue Rajendra Udara."

Janita belum menyambut tangan Rajendra. "Udara? Lo bukan Avatar Aang, kan?

Masih dengan posisi yang sama, Rajendra tertawa kecil. Kedua matanya menyipit. Ada garis senyum di sekitar bibirnya. "Lo adalah orang yang kesekian kali yang merasa aneh dengan nama belakang gue. Udara di nama gue bukan berarti udara angin, tapi kata dari bahasa Sansekerta yang artinya termasyhur atau agung." Satu tangan Rajendra meraih tangan Janita dan menempelkannya di tangannya sendiri, mirip dengan gestur orang bersalaman. "Dan nama lo?"

RATIMAYA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang