trivimsati - doa dan izin dari tuhan

1.2K 250 51
                                    

*

ratimaya — trivimsati

*


"Dih, si Janita malah keenakan dipeluk." Iseng, Deka menarik lengan Janita agar menjauh dari Rajendra, lalu ia melingkarkan tangannya di bahu Janita. "Udah, sama gue aja. Ajen mah sosok yang susah digapai," katanya sambil menaikkan alis ke atas.

Janita mendelik, lalu berdecih dengan muka masam. "Males banget gue sama lo."

"Ya udah, mending sama gue." Kini Sena ikut-ikutan merangkul Janita. "Kalau sama gue, lo gue ajak hunting sampai mampus. Nggak cuma ke tempat yang Instagram-able, tapi juga history-able."

"Yang paling aman mah sama gue." Lingga masuk ke sekretariat. Ia duduk di lantai, kemudian mengangkat kerah bajunya ke atas. "Gue jelas-jelas satu langkah di depan lo semua. Emang sih gue nggak jago main musik, tapi kalau puisi bisa bikin Janita luluh, kenapa enggak?" Semua orang yang mendengar itu tahu kalau Lingga hanya bercanda, tapi semuanya juga tahu kalau yang ia ucapkan adalah fakta. Lingga  bangkit sambil merogoh kantong celana. Ia lantas menyerahkan secarik kertas warna coklat ke Janita. "Dibaca, ya?" pintanya.

Sena dan Deka melepaskan rangkulannya. Keduanya diam-diam membaca puisi dari Lingga. Hanya satu bait di banyaknya garis baris di kertas tersebut. Isinya juga tidak macam-macam. Tapi ya begitu, maknanya cuma satu; Lingga menyayangi perempuan itu.

Semalam, Tuhan mengetuk pintu kamar saya. Dia bertanya, "Kamu ingin setor doa apa?"
Saya tidak menjawab banyak. Hanya dua.
Saya menjawab, "Saya ingin Ayah saya diampuni dosanya dan perempuan yang saya cintai lupa akan luka-lukanya.

—agrapana, 2019.


"Coba deh, Ling, lo kirim ke penerbit semua puisi-puisi lo." Sena menunjuk kertas puisi tersebut. "Kalau tembus cetak, lo dapet royalti. Lumayan."

"Kalau dikirim ke penerbit, nggak spesial." Lingga menatap Janita. "Puisi yang gue buat itu khusus untuk satu orang. Untuk orang itu baca, simpan, dan kenang. Siapa tau aja, kalau dia bukan atau jodoh gue, dia bisa ingat di masa depan kalau dia pernah punya kenangan yang menyenangkan. Disukai oleh seseorang, misalnya. Ya, kan, Jan?" tanyanya meminta persetujuan.

Janita mengangguk. Ia rasa dengan menyimpan puisi-puisi dari Lingga, bisa menghargai perasaan laki-laki itu. Setidaknya, jika nyatanya nanti Rajendra atau laki-laki lain berhasil mengalihkan perhatiannya, ia sudah berusaha membuat Lingga bahagia. "Thanks, ya. Bakal gue simpan puisinya. Gue nggak tau ini puisi keberapa yang lo kasih, tapi sekali lagi makasih banyak. Membaca semua puisi dari lo saat gue di titik terendah, sedikit ngebantu gue buat menata kembali hari yang buruk." Ada senyum simpul yang Janita tampilkan. Sekali lagi, itu salah satu menghargai perasaan Lingga.

"Eh, btw, gue duluan, ya?" Rajendra tiba-tiba pamit. Ia sepertinya buru-buru. Itu terlihat dari caranya menyambar tas dan melirik jam tangannya.

"Loh? Kenapa?" tanya Lingga.

"Cemburu kali ngelihat adegan tadi." Deka berkata asal kemudian bersiul dengan usil.

Rajendra berdecak kesal. Ia menunjukkan pesan dari ibunya ke hadapan Deka. "Sembarangan aja lo kalau ngomong. Nih, Ibu gue minta tolong buat bantuin masak. Nanti sore anak-anak paud yang diajar ibu gue pada mau main ke rumah."

"Gue boleh main ke rumah lo, nggak?" kata Janita. "Gue cuma mau ketemu anak kecil. Jagar udah bukan anak kecil lagi."

"Ya udah. Ayo!" ajak Rajendra yang sudah ada di pangkal pintu.

RATIMAYA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang