an extra : satu persen

1.9K 241 92
                                    

Linggarjati : Gue di depan rumah.

Janita kelabakan di atas kasur saat ponselnya menyala dan mendapati satu pesan singkat dari Lingga. Buru-buru Janita bangun dari kasur dan membersihkan badan. Terlalu buru-buru sampai bekas pasta gigi masih ada di sudut bibirnya. Janita tidak tahu kenapa debaran ini masih bisa ia rasakan meski laki-laki itu sudah menghilang entah hitungan hari ke berapa. Janita tidak mau menghitung waktu semenjak Lingga pergi. Baginya, mengingat hari semakin membuatnya sakit hati.

Ada euforia jatuh cinta yang ia rasakan kembali saat tahu-tahu Lingga menghubunginya lagi. Seperti waktu awal-awal laki-laki itu mengirimkannya beberapa puisi. Atau barangkali saat Lingga terang-terangan mulai membicarakan kepada orang-orang kalau Janita lah yang ia sukai. Perasaan mendebarkan tersebut membuat Janita sulit untuk bernafas. Satu senyum simpul muncul di wajahnya selama ia pergi berdandan dan mencocokkan pakaian dari lemari miliknya.

Keluar dari kamar, ia mendapati Jagar yang tengah berada di halaman belakang. Dilihatnya pula tiga kucing milik Mama sedang dimandikan oleh adik laki-lakinya itu.

Langkah Janita terhenti saat Mama menginterupsi. "Mau ke mana, Ya?" tanya Mama setelah menutup pintu kamar.

Janita menghampiri Mama, membisik di salah satu telinganya, "Ketemu Lingga." Ia mendapati respon Mama yang terkejut.

"Titip salam buat Lingga." Mama berpesan.

Anggukan dari Janita menandakan sebuah jawaban.

Lingga tidak pernah main-main dengan ucapannya. Saat Janita membuka pintu rumah, ia mendapati mobil Lingga yang terparkir di depan rumahnya, sekaligus Lingga yang berdiri di depan pagar. Kepalanya melongok ke arah pintu rumah, siap menyambut sosok yang akan keluar.

Begitu Janita mendapati Lingga yang menatap ke arahnya, semuanya mendadak kaku. Debaran di jantungnya lebih kencang lagi. Semua seolah berfokus pada laki-laki itu. Matanya terkunci satu sama lain. Sebuah memori berlari-lari di sekitaran Janita maupun Lingga. Baris-baris puisi serta keping kejadian memenuhi isi kepala mereka.

"Long time no see. Gimana kabar? Baik?" tanya Janita setelah membuka pagar rumah. Ia menatap Lingga yang jaraknya mungkin hanya beberapa jengkal jarinya. Seperti kata Rajendra, tidak ada yang berubah dari Lingga, sekalipun tatapan matanya.

Lingga mengangguk. Satu senyum kecil muncul. "So far so good. Gimana Mama?"

"Mama baik, kok. Jagar juga."

"Udah lama, ya?"

"Udah lama banget sampai rasanya gue nggak mau ini terlalu lama."

Lingga di depannya justru terkekeh. Ia membiarkan Janita untuk masuk lebih duku ke mobil, disusul olehnya. "Jadi, gimana sama Rajendra?" Mobil mereka berdua melaju, membaur dengan kendaraan lainnya.

"Nggak tau gue. Entah nasib atau gimana, lo sama dia tuh sama-sama nggak jelas. Buang-buang kesempatan banget," balas Janita sambil memegang kepalanya.

"Buang-buang kesempatan gimana? Setiap Ajen nge-chat gue, dia selalu cerita tentang lo, kok. Pernah gue tanya progres kalian udah berapa persen, dia bilang tinggal satu persen lagi."

"Dan lo tau satu persennya buat siapa?" Lingga menggeleng di tempat. Jalanan yang macet membuat Lingga sulit melihat ke arah Janita meski cuma sekilas. "Satu persennya masih buat lo."

Lingga baru bisa membalas saat mobil mereka terhenti karena lampu merah. "Cuma sepersen doang, Jan. Lo bisa langsung kasih itu ke Rajendra. Kasian dia curhat ke gue katanya belum bisa sampai seratus persen. Lo jangan terlalu neken dia, lah. Kasian." Tatapan malas dari Janita ia terima. "Lagian, nih, ya, gue nggak ada apa-apanya sama dia, Jan."

RATIMAYA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang