*
ratimaya — dwivimsati
*
Semakin dewasa, manusia semakin banyak pula mengeluh, mengumpat, tidak bersyukur, atau menyalahkan keadaan. Rasa puas yang manusia memiliki takkan pernah mencapai batas cukup. Selalu saja ada rasa kurang yang hinggap di pikiran, melahap segala rasa syukur dengan kejam, membuat manusia merasa apa yang dilakukannya hanyalah contoh dari sebagian kecil usaha yang ia lakukan. Ironisnya, saat berasa di titik terbawah, manusia akan memutar kembali rasa ingin puas tersebut, lalu menyesal kenapa tak pandai bersyukur dan tak membuka mata, hati, dan telinga di sekelilingnya. Manusia pada pada dasarnya bak ranting dua cabang. Selalu punya pemikiran yang sama sekaligus berbeda saat rantingnya tumbuh dan patah.
Rajendra tidak pulang ke rumah saat Lingga sudah tidur di kamar Jagar. Ia duduk dalam bungkam di samping Janita. Laki-laki itu tidak peduli kalau hari ini ia akan masuk pagi. Pikirannya kacau sekacau perasaannya saat ini. Ingin segera menentukan pilihan juga rasanya tak mungkin dilakukan dalam waktu singkat, tapi kalau tidak ditentukan secepatnya, ia takut kalau perasaan itu cuma iklan lewat semata. Lagi pula, siapa yang ingin mencintai orang yang kelihatannya cinta dengan orang lain? Tidak ada. Tapi pemikiran Rajendra yang lainnya juga beranggapan kalau seseorang layak dicintai oleh siapa saja.
Ya, ranting dua cabang.
"Kenapa ada sang hitam bila putih menyenangkan?" lirih Rajendra mengatakan sepenggal lirik dari Sheila On 7. Matanya menatap Janita yang sudah tertidur dengan posisi lutut yang ditekuk dan kedua tangan yang menjadi bantal untuk kepala. "Gue nggak pernah mau jatuh cinta, Jan. Ribet. Gue nggak suka. Gue nggak tahu apakah orang yang gue sukai juga punya perasaan yang sama kayak gue. Ah, nggak cuma itu, gue juga nggak tau perasaan suka yang sebenarnya itu kayak apa. Cinta sama orang tuh nggak main-main, Jan, butuh perhitungan biar cintanya nggak kebuang sia-sia. Sumpah, gue paling males ngelewatin proses deg-degan kayak gini. Bayangin aja, setiap malam, sebelum tidur, gue harus mati-matian bikin muka lo hilang dari imajinasi gue. Gue susah payah untuk nggak berharap banyak saat ada notifikasi di hape. Gue benci jatuh cinta hanya karena gue takut gue jatuh sendirian. Tapi kenapa jatuh cinta sama lo bikin gue nggak benci akan hal tersebut?"
"Jangan pernah takut untuk jatuh cinta sendirian." Suara orang di belakang Rajendra membuat laki-laki itu langsung menegakkan tubuhnya. Praktis, kepalanya memutar dan ia langsung menelan ludah saat tahu siapa yang datang. "Jatuh cinta itu kalau menurut lo ribet, mending ubah pemikiran lo. Jatuh cinta itu dibikin senang aja. Ibarat kata lo menekuni bidang yang lo suka, ya lo nggak bakal kerepotan saat dikasih tugas tambahan." Lingga duduk di depan Janita, yang secara tak langsung pula ia duduk di depan Rajendra.
"Harus ikhlas, Raj. Perasaan orang nggak ada yang tau. Hari ini cinta, besok benci. Hari ini peduli, besok seolah nggak pernah ingat sama apa yang udah terjadi." Lingga masih terus menatap Janita. "Kalau lo tanya kenapa gue tetap ngejar Janita, jawabannya karena gue tulus dan ikhlas. Tanpa paksaan dan tanpa pernah merasa direpotkan. Jadi, kalau gue nanti patah hati, gue nggak patah-patah banget. Karena sedari awal gue ikhlas. Mau dia esok hari sama siapa, gue mencoba terima dengan lapang dada."
"Termasuk sama gue?"
Lingga kini beralih ke arah Rajendra, lalu mengangguk. "Sejatinya, dia milik siapa aja. Dia milik ibunya, ayahnya, adiknya, teman-temannya, gue, atau bahkan lo. Tapi nanti, saat udah diikat di pernikahan, dia cuma milik satu orang, suaminya."
"Lo nggak marah sama gue karena suka sama Janita?"
"Nggak."
"Nggak kecewa sama gue karena gagal jadi teman lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Romanceyou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish