saptadasa - di barisan paling depan

1.5K 284 43
                                    

*

ratimaya - saptadasa

*


Lingga sudah pergi dari depan rumah Janita sejak sepuluh menit yang lalu. Percakapan di lantai atas Monas masih berbekas di kepala Janita dan mungkin ia tidak akan melupakan peristiwa tersebut. Lingga benar-benar menurunkan air matanya saat Janita mulai memberikan saran, semangat, dan doa untuk keinginannya mencari identitas pelaku penembakan yang diduga ayahnya. Janita sendiri tidak dapat berbuat banyak, tapi sebisa mungkin ia akan selalu ada di samping Lingga, bagaimana pun keadaannya nanti. Sebab laki-laki itu sudah berdiri tegap melindungi Janita sejak masa aktif BEM kampus dimulai.

Setelah beranjak dari area Monas, Janita dan Lingga tidak langsung pulang ke rumah. Mereka berdua menghabiskan jam-jam setelah Maghrib dengan makan di angkringan dan menyusuri jembatan penyebrangan orang.

Sekarang jam tangan di lengan Janita menunjukkan pukul setengah delapan malam. Perempuan itu menghela napas berat, lalu masuk ke dalam rumah. Pikirannya masih tertuju pada keputusan yang diambil Lingga. Tepatnya ia khawatir dengan laki-laki itu.

"Yaya pulang!" Janita berseru sembari melepas flatshoes warna coklat mudanya, yang langsung ia taruh di rak dekat pintu. Janita sedikit heran karena banyak sekali pasang sepatu yang berjejer di rak, padahal biasanya yang ada di situ hanya sepatu miliknya, Mama, dan Jagar.

Ruang tamu dan ruang tengah memang kosong, tapi saat Janita ingin menaiki tangga, ia dikagetkan dengan tawa menggelegar khas milik Javas dan adiknya, Jagar.

"Pantes aja ya ruang tengah sama dapur kosong, taunya lagi asik nyantai sambil ngemil di sini." Perempuan ini berkacak pinggang di kusen pintu. Ia hanya geleng-geleng kepala melihat betapa ramainya hakaman belakang rumahnya. Di situ ada Jagar CS dan mata Janita menangkap Rajendra yang tengah melihatnya juga.

"Sini, Kak Yaya. Duduk di samping gue, kalau perlu nyender ke bahu gue juga nggak apa-apa." Renjana menepuk-nepuk karpet di sebelahnya, lalu beralih ke bahunya. "Tenang, kalau sama Kak Yaya, nggak usah bayar alias gratis."

"Ogah banget gue duduk di dekat lo. Bisa-bisa gue besok dilabrak sama deretan cewek yang lo punya." Janita menolak. Kemudian ia memilih duduk di samping Jagar, meletakkan kepalanya di bahu laki-laki itu dengan santainya, membuat Jagar harus menyingkirkan kepala Janita dengan tangan karena berat.

"Nggak usah nyender-nyender, gue bukan dipan kasur."

Janita tak mengindahkan raut wajah Jagar yang masam, ia justru kembali menjatuhkan kepalanya di bahu adiknya itu. "Lo nggak bisa lihat orang yang capek apa, ya? Gue tuh capek abis muterin Monas jalan kaki."

"Ya, lagian kurang kerjaan banget jalan kaki di area Monas. Harusnya pakai pesawat pribadi dong, Kak Yaya," celetuk Cakra dengan tangan yang bergerak di udara, seolah menunjukkan pesawat terbang.

"Heh, lo kira lapangan Monas segede lapangan landas di Soekarno-Hatta? Lagian, mana mungkin Kak Yaya naik pesawat pribadi, pacar aja nggak punya. Iya, kan?" Ucapan Javas langsung disambut meriah oleh yang lainnya. Bahkan Mama pun sampai tertawa terpingkal-pingkal.

Mama menghentikan acara tawa dari yang lain dan berkata, "Eh, tapi gitu-gitu juga Kak Yaya banyak yang suka. Dari mulai Lingga sampai ini nih, yang di sebelah Mama." Mama menyikut lengan Rajendra, seakan memberi kode kepada semuanya.

Jagar bersiul kegirangan, sementara yang lain sibuk menanyakan keaslian dari perkataan Mama.

"Yang bener, Tante? Wah, jangan nikung gue, Bang." Renjana sedikit maju ke depan Mama, lalu ia menoleh kesal ke arah Rajendra. "Gue yang kenal Kak Yaya lebih dulu, Bang. Kalau urusan ganteng, ya udah pasti gantengan gue." Ia menyugar poninya yang sedikit panjang dengan sombong.

RATIMAYA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang