shash - dosa, kota, dan kenangan

1.5K 272 25
                                    

*

ratimaya — shash

*

Beban di kepala Lingga semakin menumpuk. Sore hari tadi, selepas ia pulang dari Sudut, pamannya mengirim e-mail tentang keberadaan ayahnya. Ia bilang kalau salah satu temannya berhasil menemukan pelaku penembakan, yang sialnya memiliki ciri-ciri fisik dengan ayah Linggau. Sekarang sudah jam 2 pagi, tetapi Lingga masih terpaku pada layar laptop yang menyala. Ia mencari berbagai informasi mengenai identitas pelaku penembakan terhadap Dewangga Mahapati. Ada salah satu artikel yang berhasil memotret wajah pelaku. Namun, Lingga tidak dapat memastikan itu ayahnya atau bukan karena jarak lensa dengan objek yang terlalu jauh membuat kualitas gambar tersebut jelek, blur, dan pecah.

From: <ambarawa.lito@wmail.com>
To: <ling.agrapana@wmail.com>
Subjek: infomasi

Ling, Pakde udah tau posisi bapakmu. Kemarin Pakde dapat info dari teman yang bekerja di kepolisian kota Jakarta. Dia juga ikut menangani kasus penembakan presiden dan katanya identitas pelaku itu mirip bapakmu. Hasil sidik jari lagi diselidiki. Pakde harap kamu jangan gegabah. Tunggu hasil investigasi keluar, baru kamu bisa memastikan itu bapakmu atau bukan. Kalau itu memang bapakmu, jangan benci dia, Ling. Mau seberapa jahat dia, itu tetap bapakmu. Berdoa yang terbaik, sebab Tuhan tau doa-doa yang baik. Jangan lupa istirahat, Ling. Kalau ada waktu, pulang ke Malang.

To: <ambarawa.lito@wmail.com>
From: <ling.agrapana@wmail.com>
Subjek: balasan

Makasih banyak, Pakde. Kalau ada waktu, Lingga pulang ke Malang.

Lingga mengacak-acak rambutnya asal. Ia memegang kepalanya dengan satu tangan, menyurai rambutnya ke belakang dengan mata yang terpejam dan napas yang memburu. Semesta sudah terlalu banyak bercanda dengan dirinya. Dulu ketika ia tahu ayahnya berada di Jakarta, Lingga tidak tahu keberadaannya. Tapi kini, ketika Lingga tahu di mana pria itu, justru kabar buruk yang ia dengar.

Merasa kalau dirinya perlu berbagi cerita dengan orang lain, Lingga mengambil ponsel, mencari nomor yang dituju, dan menempelkan ponselnya di salah satu telinga.

"Halo, Jan?" Lingga bersuara setelah tersambung. Ia harap-harap cemas karena takut Janita akan marah, sebab ia menelponnya jam 2 dini hari alias waktu yang salah untuk menelpon seseorang hanya karena ingin bercerita tentang serangkaian masalah.

Dengan suara yang samar, Janita membalas, "Yes, I'm here. Kenapa, Ling?"

"Lo lagi tidur, ya? Sorry, sorry, kalau gue ngeganggu," katanya dengan nada menyesal. Lingga memukul kepalanya pelan sebanyak dua kali, pertanda kalau ia bodoh menelpon seseorang tanpa tahu orang tersebut sudah terlelap atau belum.

"Engga apa-apa. Bentar ya, gue cuci muka dulu. Teleponnya nggak usah lo matiin."

Lingga bisa mendengar suara kucuran air dan suara batuk dari arah sana beberapa kali. Saat Janita sudah mulai kembali menyahut, Lingga langsung bertanya tentang kondisi perempuan itu. "Lo sakit?" tanyanya dipenuhi rasa khawatir.

"Hah? Enggak, kok. Tadi itu  cuma batuk biasa, bukan batuk kayak orang sakit." Janita memberi jeda sejenak, lalu kembali melanjutkan. "Ada apa, Ling? Ini udah jam 2 pagi dan gue tebak pasti lo belum tidur. Iya, kan?"

"Tebakan lo benar."

Janita berdecak. "Ling, mau sampai kapan badan lo dipaksa buat sadar? Kalau ada waktu, usahakan buat tidur, istirahat, bukannya malah begadang."

RATIMAYA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang