*ratimaya — dan bahwa
*
Tidak ada perubahan yang benar-benar berarti. Penjelasan hubungan tidak kunjung tiba. Rajendra masih senantiasa mengirimi Janita pesan, mengunjungi rumahnya, mendengarkan segala kekesalan perempuan itu, dan yang lainnya. Hanya itu. Tidak ada batas lebih. Tidak pula pergi ke tempat yang lain. Tidak beranjak sama sekali. Bahwa perihal seseorang yang masih senantiasa ada di pikiran Janita itu lah yang menjadi penyebabnya. Seseorang itu sudah pergi jauh dari kota yang mereka tinggali. Hiruk-pikuk Jakarta sepertinya tidak ada artinya lagi.
Kerapkali Janita berkabung atas matinya perasaannya sendiri. Berhari-hari kembali membuka flashdisk dari Lingga. Puluhan puisi yang Janita simpan rapi kini bentuknya sudah kusut. Terlalu sering dibuka dan terlalu banyak terkena tetesan air mata.
"Udah dong, jangan nangis lagi." Tubuh Rajendra berdiri di pintu kamar Janita yang terbuka lebar. Laki-laki itu mendekat, menyingkirkan helaian rambut Janita yang menempel di pipi karena air mata. Ini sudah entah keberapa kalinya ia melihat Janita yang kacau. Benar-benar kacau balau. Hadirnya Rajendra di hari-hari Janita tidak cukup berarti banyak, setidaknya bagi perempuan itu.
Suasana kamarnya melankolis. Di atas kasur ada laptop yang menyala, puluhan kertas surat, barang-barang pemberian dari Lingga, dan sebagian foto mereka. Nadin Amizah menyanyi dengan lantang dari speaker handphone. Rumpang menjadi latar suara keadaan Janita.
Katanya mimpiku 'kan terwujud
Mereka lupa tentang mimpi buruk
Tentang kata maaf, sayang aku harus pergiSudah kuucap semua pinta
Sebelum ku memejamkan mata
Tapi selalu saja kamu tetap harus pergi"Jangan nangis lagi." Telunjuk Rajendra menghapus air mata di pelupuk Janita. Rambut perempuan ini yang mulai memanjang cukup membuat menutup sebagian wajahnya. "Kan kemarin udah janji sama gue buat nggak nangis lagi. Kemarin juga lo ngamuk-ngamuk ke gue kenapa gue nggak ngumpetin semua surat-surat ini," Rajendra mengangkat beberapa kertas surat itu ke atas. "Lo juga yang minta gue untuk simpan flashdisk itu dan ngehapus playlist lagu yang Lingga kasih ke lo. Tapi apa? Lo sendiri yang membuat semua itu balik lagi. Semua surat yang udah gue ikat rapi di laci, lo buka lagi, lo baca lagi. Semua playlist lagi yang udah gue hapus, lo add lagi. Lo bikin playlist baru dengan nama yang sama. Jan, yang ngebuat lo susah lupa ya diri lo sendiri, bukan Lingga."
Sembari merapikan surat-surat yang berantakan tersebut, Rajendra memberitahu Janita satu hal. Tentang kejadian semalam, saat nomor yang amat dikenalinya menelepon pukul jam dua belas malam kurang. Suara yang amat Rajendra kenali meski dari balik telepon genggam. "Lingga nelpon gue. Semalem. Pas banget gue baru balik dari Markas Baca."
Tubuh Janita langsung menegang. Kepalanya perlahan terangkat untuk menatap Rajendra. Banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Tentang kenapa ia tak dihubungi sama sekali ketika laki-laki di sana mampu menghubungi Rajendra dengan mudah.
Banyak yang tak ku ahli
Begitu pula menyambutmu pergi"Dia ngomong apa aja sama lo?"
"Banyak." Rajendra tampak memikirkan sesuatu. "Dia mulai membaik sekarang. Ibu tirinya sangat terbuka lebar. Adik tirinya pun seneng dia balik lagi ke Malang. Pemakaman Ayah Lingga berjalan lancar meski banyak banget desas-desus setelah itu. Dia mutusin untuk nggak kuliah. Lingga sekarang kerja. Handphone-nya emang sengaja dinonaktifkan. Katanya, dia nggak mau mendengar atau membaca apa pun dari sini. Jakarta ternyata lebih kelam daripada Malang, menurutnya. Hidup Lingga perlahan membaik. Dia ketawa pas gue bilang kalau ada yang nangisin dia mati-matian di sini," Mata Rajendra menatap lekat mata Janita. Mata ditumbuk mata. "Dia nggak percaya kalau orang yang dikiranya cuek dan nggak ngebales perasaan dia bisa paling ngerasain kehilangan. Semua yang terjadi sama lo saat Lingga pergi, gue kasih tau."
"Terus dia bilang apa?"
"Dia bangga. Dia senang lo begini karena eksistensinya akhirnya dihargai, meskipun telat. Berkali-kali dia ngomong ke gue untuk jagain lo. Gue sampai muak dengernya," lanjut Rajendra dengan tangan yang mengelus pipi Janita.
"And then?"
"He asked me about us. About your feeling. Dia nanya kita udah sampai sejauh mana. Gue jawab kalau ya begini, kita nggak ada kemajuan. Perempuan yang gue sayang belum rela orang yang disayanginya pergi, sementara gue terus aja ngedeketin. Jatuhnya jadi hubungan yang nggak baik. Lingga kemudian nanya lagi ke gue, kenapa nggak coba jujur tentang perasaan gue ke lo. Ya, gue jawab aja kalau gue udah pernah. Sering malah. Tapi euforianya cuma sebentar, habis itu hilang. Perempuan yang gue sayang anggap itu cuma angin lalu. Pas di akhir, gue nanya ke Lingga. Kalau gue ikutin jejaknya untuk pergi dari hidup lo, gimana? Biar gue ngerasain gimana rasanya ditangisi, dirindukan setiap hari, diputar kembali kenangan-kenangan kecilnya. Atau gue lupa kalau kita nggak punya momen apa-apa? Ya, kan, Jan? Kita nggak punya ingatan khusus. Kita bukan apa-apa."
Katanya, mimpiku, akan terwujud
Mereka, berbohong, mimpiku tetap semuJanita terpaku. Ia masih setia menatap Rajendra. Laki-laki itu dengan gamblang menyatakan kerisauannya di depan Janita. Tanpa ba-bi-bu. Tidak ada aba-aba.
"Tapi gue dapat satu benang merah yang paling penting. Bahwa selama ini perasaan Lingga dan gue ke lo itu bukan main-main. Kami berdua paham perasaan masing-masing. Perempuan yang kita sukai sama, tapi cara yang kami tunjukkan berbeda. Lo merasa nyaman dengan keduanya, dengan gue ataupun Lingga. Tapi, Jan, sumpah, gue sayang sama lo dan Lingga pun menyetujui itu. Dia nggak bisa apa-apa dan memilih gue untuk maju, untuk ada di tahap sekarang. Dikit lagi, Jan. Sedikit lagi kita ada di tahap itu. Sebuah tahap di mana eksistensi gue dihargai dan lo merasa dicintai."
And then, Rajendra pushed her shoulder to come closer. He gives a little kiss on her lips. Janita returned the kiss and deepened it.
Truly, madly, deeply.
*
Selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Romanceyou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish