tridasa - sepi yang tertanam

1.5K 295 41
                                    

*

ratimaya — tridasa

*

Seusai acara peluk-pelukan tersebut, Mama pergi ke ruang tamu bersama Rajendra. Janita sendiri tidak tahu metode apa yang Rajendra akan berikan kepada mamanya. Tapi satu harapan Janita, Mama mampu sembuh dari trauma.

Sekarang Janita dan Lingga ada di teras depan rumah. Di meja teras ada laptop dan dua buah cangkir yang berisi teh hangat.

"Aneh nggak sih kita berdua? Malem-malem kok minum teh." Lingga tertawa sedikit, lalu menyeruput tehnya.

"Ya, gimana, Ling, kan lo sama gue sama-sama nggak doyan kopi. Berhubung sirup dan minuman bersoda di kulkas abis, ya udah gue nyeduh teh."

"Emang di rumah lo suka banget ya ngestock minuman bersoda?" Lingga kembali menaruh cangkirnya di meja.

"Itu sebenarnya punya Jagar. Disuguhin kalau teman-temannya main ke sini. Sumpah ya, teman-teman adik gue tuh sok borjuis banget, maunya minum yang ada sodanya. Gila apa ya, nggak rusak tuh organ dalam?" Janita mencibir perilaku teman-teman adiknya itu.

"Namanya juga anak muda, pasti maunya senang-senang. Lihat aja nanti kalau kuliah, pasti tiap malem minumnya kopi biar nggak ngantuk ngerjain tugas. Tapi ngomong-ngomong, beruntung ya jadi lo sama Jagar. Lo berdua punya sosok ibu yang benar-benar hangat." Lingga menatap ke arah lampu taman rumah Janita.

Perempuan di sampingnya menghela napas. "Lo tau Tera, kan?" Lingga mengangguk. "Dia sama kayak lo, selalu bilang kalau hidup gue itu beruntung. Dia bilang kalau Mama itu sosok ibu yang benar-benar dibutuhkan sama semua anak. Keadaan keluarga gue yang jauh dari huru-hara pun katanya membuat orang lain beranggapan kalau keluarga gue itu orang-orangnya nggak suka adu bacot apalagi tangan. Tapi ya, rumput tetangga selalu lebih segar dari rumput sendiri, kan? Orang selalu mencerahkan keadaan orang lain karena keadaan yang dia alami itu lagi redup. Orang lain bilang gue beruntung punya Mama, ya karena dia punya ibu yang sifat dan sikapnya nggak sama persis dengan Mama. Ling, I tell to you, hidup gue nggak seberuntung yang orang lain pikir. Papa meninggal, Mama trauma. Gue sama Jagar perlahan-lahan dilupakan sama Mama, meski keliatannya Mama masih peduli. Gue sama Jagar dilupakan dalam hal batin, seolah-olah Mama nggak peduli sama gue lagi, seolah-olah ada kebiasaan yang hilang semenjak Papa meninggal. Gejolak batin itu membuat gue sama Jagar berpikir kalau Mama nggak sayang kita lagi, padahal yang orang lain lihat adalah Mama semakin sayang sama kita berdua."

"Lo benar. Manusia selalu bercermin dengan kehidupan manusia lain. Itu kenapa kebanyakan manusia nggak bersyukur, padahal hidupnya kalau nggak tengok kanan-kiri, udah indah banget. Kalau gue boleh cerita, gue kangen ibu gue, Jan. Gue nggak tau dia sekarang di mana. Masih hidup atau enggak pun, gue nggak tau. Nggak ada jejak atau pertanda dia pergi ke arah mana. Benar-benar lenyap dari peredaran." Lingga mengusap wajahnya pelan. Ia juga membuang napasnya dengan berat. Janita yang melihat itu hanya diam tanpa berkata. Di sampingnya, Lingga seolah ingin mengeluarkan segala emosi yang terbenam di kepala.

"Ungkapin. Jangan dipendam. Kalau lo malu karena takut nangis, it's oke, nanti gue bisa ambil sikap amnesia esok hari."

Perkataan Janita barusan membuat Lingga menatapnya dalam. "Kayaknya kita nggak pernah ya ngobrol santai. Pasti aja kalau sama lo, obrolan kita itu jatuhnya ke deep talk." Lingga tersenyum kecil sambil sedikit menundukkan kepala.

"Ada satu fakta kenapa kita berdua sering terlibat deep talk meski ini bukan jam tiga pagi."

Lingga menatap Janita lagi. "Apa?"

RATIMAYA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang