vimsati - (not) a friend's hug

1.3K 269 29
                                    

*

ratimaya - vimsati

*

"Raj, gue ketinggalan banyak berita, ya?" Lingga kembali bertanya dengan alis yang terangkat sebelah. Ia juga kemudian menatap Janita seolah meminta penjelasan.

Rajendra menjadi bimbang sekaligus tegang. Ia mencoba untuk bersikap santai, tapi tetap saja kelihatan seolah mencoba menutupi lubang besar. "Nggak seperti yang lo pikirin, kok. Gue sama Janita nggak ada apa-apa. Santai. Gue nggak ngambil apa yang sejak awal lo simpan."

Lingga mengangguk. Ia kemudian mengumpulkan perhatian dari semua teman-temannya. "Ayok, fokus! Dua Minggu lagi kita ada acara besar," katanya mengambil titik fokus teman-temannya. "Gue nggak mau tau ya, pokoknya dari sekarang sampai hari H harus perfect, jangan ada kelalaian sedikit pun. Humas harus hubungin lagi sponsor dan bintang tamu. Publikasi dan dokumentasi juga harus mulai masang pengumuman. Apa pun medianya, mau online atau offline, tolong manfaatin. Ambil daya tarik semua mahasiswa. Untuk seksi acara, gue minta kalian presentasi rancangan acara dari gladi resik sampai tutup acara. Seksi konsumsi, tolong koordinasi sama bendahara masalah budget untuk makanan. Masalah sponsor juga jangan dianggap sepele. Ticketing apalagi. Gue nggak mau setelah acara puncak, kita nggak mencapai target dan justru nebar hutang di mana-mana."

Semua topik pembicaraan langsung dibabat secara singkat oleh Lingga. Bahkan justru ia yang mengendalikan rapat kali ini. Dari mulai penyampaian tugas masing-masing panitia, presentasi masing-masing seksi, serta evaluasi pun ia yang memimpin. Lingga tidak membiarkan Rajendra untuk ikut campur dalam rapat tersebut. Setiap kali Rajendra ingin berbicara, Lingga akan langsung memotong sebelum satu huruf keluar dari bibir Rajendra.

Ini egois. Rajendra benci orang yang egois. Ia tahu kalau Lingga marah padanya karena tingkah Janita tadi. Tapi mencampur urusan pribadi, apalagi perasaan, ke dalam lingkup organisasi, itu sungguh kekanak-kanakan. Itu artinya, Lingga belum bisa mengendalikan pikirannya sendiri. Laki-laki itu masih belum bisa menyetir egonya sendiri.

Ketika rapat selesai pun Lingga langsung pamit undur diri. Tidak ada sapa dan kata-kata penutup yang ia layangkan kepada Janita. Intinya, Lingga langsung pergi saja dari hadapannya.

"Gue nggak ngerti sama Lingga," ucap Janita saat ia mengambil gelas gelas kosong dengan tangannya. "Nggak biasanya dia kayak gitu. Biasanya dia manis ke gue. Lembut. Halus. Ini malah kayak pacar lagi marah."

"Insting laki-laki." Rajendra membalas seraya membantu Janita.

"Maksudnya?"

"Ya, sama aja kayak ular. Ular kalau ada hewan lain yang masuk ke daerah teritorialnya, pasti bakal langsung marah dan nyerang. Sama aja kayak laki-laki. Laki-laki kalau udah menyangkut tentang orang yang dia sayang, pasti langsung merasa terancam kalau orang yang dia sayang diambil sama orang lain."

"Kan lo nggak ngambil gue dari dia." Langkah Janita terhenti. Ia menatap punggung Rajendra yang berada satu meter di hadapannya.

Rajendra berbalik punggung. "Kalau kenyataannya gue mau ngambil lo dari Lingga, gimana? Gue kira lo paham apa arti debar jantung gue dua hari yang lalu." Ia menatap Janita yang masih bungkam. Mata perempuan itu juga mencari-cari kebenaran dari kalimat Rajendra.

"Gue paham kok maksud lo. Tapi kenapa tadi yang lo bilang ke Lingga itu kebalikannya? Kenapa nggak jujur?"

Rajendra justru tersenyum. Ia menaruh toples biskuit di atas meja, lalu menghampiri Janita yang masih bertahan dengan posisi memegang dua gelas kosong. "Nggak untuk sekarang. Gue nggak bisa blak-blakan." Tangan Rajendra mengelus pelipis Janita.

RATIMAYA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang