ratimaya — who's the reality?*
Gue jarang berantem sama Rajendra.
Dari awal kita pacaran sampai sekarang udah mau setahun, yang paling gue hindari kalau lagi berdua sama dia itu cuma berantem. Ego gue sama dia sama-sama besar. Gue keras kepala dan dia juga sama. Lingga bahkan bilang secara terang-terangan ke gue kalau besar kemungkinannya gue sama Rajendra putus di tengah jalan.
Dua bulan pertama gue pacaran sama dia, gue baru tau kalau Rajendra tipe orang yang harus banget dikasih kabar, sementara gue bukan tipe yang kayak gitu. Chat dari Lingga aja dulu gue biarin gitu aja, apalagi dia. Gue maunya meskipun kita berdua pacaran, gak ada banyak hal yang berubah. Seperti yang Lingga selalu bilang ke gue, "Lo tuh keras kepala. Batu banget. Ego lo gede. Maunya dikhawatirkan sama orang lain tapi lo gak mau sekali aja mengkhawatirkan orang lain. Pikiran lo itu milik lo, Jan. Gak ada yang bisa merubah hal tersebut." Dan ya, gue emang begitu adanya.
Tapi namanya juga orang pacaran. Komunikasi harus dua arah. Gak bisa begitu aja gue membiarkan Rajendra terus-terusan nge-chat gue. Akhirnya, gue balas juga.
Lima bulan pacaran sama Rajendra, gue amat merasa dicintai dengan cara yang berbeda. Kalau Lingga selalu memberikan gue kejutan-kejutan kecil lewat puisi yang dia buat, Rajendra beda. Dia membiarkan gue melakukan apa yang gue mau. Gue pergi sendiri, makan sendiri, dan jalan-jalan seorang diri, tanpa Rajendra, dan dia membiarkan gue melakukan itu. Gak ada lagi basa-basi busuk di kolom chat. Atau kata-kata kesal yang biasanya dia kirim kalau gue bandel pergi sendiri tanpa izin dulu ke dia.
Prinsip gue itu semua yang ada di diri gue, mau itu perasaan, tubuh, atau opini gue dalam memandang sesuatu, semuanya milik gue seorang. Gak ada yang bisa merubah, bahkan Linggarjati juga gak bisa.
Tapi gak dengan Rajendra.
Sikapnya yang membiarkan gue melakukan apa yang gue mau tanpa hambatan apapun, ternyata membuat gue merasa bersalah sama dia.
Semacam... Gue memacari diri gue sendiri.
Pada puncaknya, we break up.
Oh enggak.
Tepatnya, we end up.
Dia nyerah.
Rajendra lebih memilih melindungi perasaannya sendiri karena gue.
Dan pada akhirnya, fase yang paling gue benci keulang lagi. Gue merasa kehilangan. Nangis sepanjang hari dan gak nafsu makan. Gak ada Lingga yang membujuk gue ataupun Rajendra yang tiba-tiba datang padahal gue gak minta sama sekali. Gue benar-benar sendirian kali ini.
Rasanya kosong. Lebih kosong daripada waktu gue kehilangan Lingga. Lebih sakit dari itu karena pada kenyataannya, gue sayang sama Rajendra.
Kabar bahwa gue putus sama Rajendra ternyata menyebar di kalangan teman-teman kita. Banyak di antaranya yang menyesalkan keputusan kita berdua. Banyak juga yang memberikan gue semangat buat menjalani hidup karena yang mereka lihat sekarang adalah gue yang sama kayak waktu kehilangan Lingga. Kalau kata Sena sama Deka, gue kayak orang hidup tapi sebenernya udah mati.
Asli, ini lebih parah daripada dugaan gue sebelumnya. Kalau dulu kan gue gak tau keadaan Lingga di Malang kayak gimana. Lah, kalau sekarang? Gue bisa lihat sosok Rajendra yang lagi jalan dari arah motornya terparkir menuju ke arah gue.
He looks so fine.
Sangat-sangat baik keadaanya.
Beda jauh sama gue.
Our eyes just meet for a second.
And nothing happened.
But I got notification on my phone.
Raj :
Rendy Pandugo ngeluarin lagu baru loh
Me :
???
Raj :
Gak mau dengerin bareng gue?
Bingung. Gue gak paham sama dia. Terus tiba-tiba badan besarnya ada di depan gue sambil senyam-senyum cengengesan kayak anak SD menang lotre dari abang-abang mainan depan sekolah.
Sejenak, waktu beku.
Mahasiswa yang lewat dan mau menuju kelas gak membuat gue mengalihkan pandangan dari orang di depan gue ini.
Please, ini di parkiran kampus dan kenapa hal-hal yang membikin gue deg-degan justru terjadi di tempat yang gak seharusnya ada dalam list tempat favorit gue?
"Mau gak?" Aduh males gue. Rajendra nanya lagi sambil naikin alisnya ke atas.
It's raining outside
Dark corners all I have tonightAn empty coffee cup and cigarette butts
I just need to go home right now
Hmm-hmm-hmm-hmm
Tell me what's fantasy
Who's the reality?
Can you show me the way?Without all the fake smile
Or is it the blessing in disguise
I don't know
I just need to go home right now
Going back into her arms
Covered in blanket and feel the warmth
And I know that she's mineTill the end of time
Going back into her arms
Time keeps passing by
But she'll always be mine
Oh, wonder if you could show me the wayI just need to go home right now
Going back into her arms
Covered in blanket and feel the warmth
And I know that she's mine"Baikan, ya?"
Gue iseng jawab, "Gak sekalian balikan?"
Terus malah dibalas sama Rajendra kayak gini, "Ya, lo mau enggak? Kalau lo gak mau sih ya buat apa? Yang ada gue yang malu. Tapi ya, Jan, kata Rendy pandugo di lagu barunya itu, 'I just need to go home right now. Going back into her arms. Covered in blanket and feel the warmth. And I know that she's mine'."
"Yang intinya adalah?"
"Gue mau melakukan apa yang ada di lirik lagu itu. Gue mau balik ke lo. Terus kita ngumpul lagi berdua di kamar gue. Atau isi hari libur kita dengan santai dan malas-malasan sambil nonton episode terbaru series di Netflix. Atau kayak tadi, confess about our feeling tapi pake lirik lagu atau judulnya. He he. Mau, ya?"
Tell me what's fantasy
Who's the reality?
Can you show me the way?And now I know, he show me that way.
He's my reality.
"Gak cape, Raj, sama gue?"
"Capek."
"Tapi kenapa mau balik lagi?"
"Karena gue tau lo lebih capek."
"Gue gak paham."
"Gak capek nangisin gue terus siang-malam tapi guenya gak dateng-dateng?"
Oke, cukup.
It's raining outside
Dark corners all I have tonightTapi gue punya dia.
Gue punya Rajendra.
KAMU SEDANG MEMBACA
RATIMAYA [✓]
Romantizmyou're the light you're the night you're the light in my night #note : republish