caturdasa - percaya diri

1.5K 301 37
                                    

*

ratimaya - caturdasa

*

Manusia itu punya banyak
cermin. Ada cermin yang melihat kesenangan dan kesedihan orang lain, ada cermin yang menunjukkan kebahagiaan dan kesulitan diri sendiri, serta cermin yang memberi tahu baik dan buruk bagi diri sendiri dan orang lain. Rajendra sudah hafal betul tanggapan orang-orang tentang kepribadian, kebiasaan, prestasi, tingkah laku, ataupun hal lainnya yang Rajendra miliki. Orang lain cenderung iri melihat kemampuan Rajendra yang mudah bergaul, percaya diri, mempunyai jiwa kepemimpinan, dan yang lainnya. Tapi mereka tidak pernah paham apa yang Rajendra lewati di balik itu semua. Ada banyak kelompok orang yang mencoba menjatuhkannya, membuat kepercayaan dirinya hilang, menjadikannya seolah pantas dijauhi karena menyebarkan kebohongan. Sebagian lagi beranggapan kalau hidup yang Rajendra jalani sungguh menyenangkan. Ia didukung orangtuanya. Setiap keputusan yang ia ambil tidak menemui kendala.

Itu apa yang orang lain lihat di luar sana.

Sikap percaya diri yang ia miliki juga sering kali menjerumuskannya ke kandang kegagalan. Contohnya, ketika ia dengan percaya diri bermain piano di depan Mama Janita. Ia tipe orang yang langsung melakukan sesuatu saat otaknya menyarankan tindakan detik itu juga. Spontan. Rajendra berpikir kalau ia tidak bermain piano di depan Mama Janita, ia tidak akan mendapatkan kesempatan itu lagi. Laki-laki ini termasuk tipe manusia yang memanfaatkan segala peluang, meski sebesar lubang semut. Tapi Rajendra juga tipe orang yang tidak terlalu memperhatikan dampak negatif dari tindakannya. Terlalu positif membuat Rajendra kadang lupa diri.

Sekarang Rajendra sudah sampai rumah. Ibunya langsung menyambut anak laki-lakinya itu. "Baru pulang? Ajen udah makan? Kok muka kamu lemas gitu?"

Rajendra menyalami ibunya. "Ajen udah makan di rumah teman. Iya, Ajen lagi banyak pikiran."

"Istirahat yang banyak. Minum air putihnya jangan dilupain. Kamu ini, udah tingkat atas masih aja sibuk sana-sini. Futsal lah, BEM lah, nongkrong lah. Mau sampai kapan kamu ngejar sesuatu untuk kepuasan kamu sendiri? Nggak kasihan sama otak dan badan kamu? Tuh, kantong mata sampai hitam kayak gitu." Jempol ibunya mengusap daerah bawah mata Rajendra dengan lembut. Suaranya ibunya juga tidak kalah lembut, membuat Rajendra tidak kuasa untuk sedikit berargumen.

"Ajen mau peluk Ibu," Rajendra langsung memeluk ibunya, membiarkan kepalanya ada di bahu wanita itu. "Ajen capek."

"Ada masalah?" Ibunya mengusap rambut anak laki-lakinya itu.

Rajendra mengangguk pelan. "Sikap percaya diri yang ajen punya, berhasil membuat seseorang pingsan, Bu."

"Ceritanya jangan sambil berdiri. Ayo, duduk di kursi," Ibunya mengurai pelukan, lalu menarik lengan Rajendra ke ruang keluarga. "Sok, Ajen mau cerita apa ke ibu?"

Rajendra jadi teringat Mama Janita sudah terbangun lima menit setelah ia dan Lingga membawanya ke kasur. Ia juga ingat dengan jelas mata Mama Janita yang langsung mencari-cari keberadaannya. Ketika sudah berhasil mendapatkan Rajendra yang tengah berdiri di samping Jagar, Mama Janita menyuruh laki-laki itu untuk mendekat kepadanya. Raut wajah cemas langsung tergambar di wajah Rajendra saat sudah di dekat Mama Janita. Laki-laki itu benar-benar ketakutan jika trauma Mama Janita semakin memburuk. Seharusnya ia tidak bermain piano secara langsung. Seharusnya Rajendra membuka obrolan tentang piano secara umum, bukan langsung mempraktekkannya di depan Mama Janita.

Rajendra juga masih ingat kala Mama Janita menyadarinya yang ketakutan, tangan Mama Janita menggenggam pergelangannya. "Nggak usah nunduk dan merasa bersalah, Raj. Mama nggak kenapa-napa," katanya dengan suara yang serak, tapi masih bersahabat.

RATIMAYA [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang