Cahaya dari Jendela

8.2K 373 11
                                    

(POV Author)

Flashback

Seorang gadis kecil terbangun. Ia melihat sekelilingnya. Gelap. Sempit. Lembab. Ia mengingat-ingat.

Ah! Ternyata ia sedang berada di dalam sebuah WC. WC yang gelap dan sempit. Hanya ada sedikit cahaya yang menembus dari dua buah jendela di atas kepalanya. Jendela kecil yang terlalu tinggi untuk ia raih.

Gadis kecil itu berjongkok sedih dan ketakutan di sudut WC. Sudah semalaman ia terkunci di dalam WC yang beralaskan tanah itu. Ingatannya terulang ketika sang kakak memarahinya karena lupa mengisi bak di dalam WC itu dengan air. Akibatnya kakaknya yang baru pulang dari pekerjaannya tidak bisa mandi. Tapi bukan hanya karena itu sang kakaknya memarahinya. Ia dimarahi karena ia bermain dengan temannya, Sandi.

Kejadiannya seperti ini. Saat itu gadis itu tengah berada di dalam rumahnya. Rumah yang berdinding semen dan kayu serta beralaskan tanah dan di sekitarnya ditumbuhi rumput liar. Atapnya hanya ditutupi seng yang hampir setengahnya berlubang. Akibatnya, jika musim hujan datang, air pun masuk ke dalam rumah dan menggenangi lantai rumahnya.

Seperti biasa, siang hari setelah pulang sekolah, gadis itu harus membersihkan rumahnya. Mencabuti rumput yang tumbuh di sekitar rumah agar rumput-rumput itu tidak masuk ke dalam rumahnya. Jika hari menjelang sore, ia pergi ke kebun. Membantu seorang nenek tua merawat tanamannya. Dari membantu sang neneklah, ia memperoleh sayuran dan bumbu dapur secara gratis. Dan ketika matahari mulai tenggelam, ia bergegas pulang ke rumah. Ia pulang dengan menyunggi sebuah keranjang yang berisi sayur-sayuran di atas kepalanya.

Setelah tiba di rumah, ia harus memasak air dengan menggunakan kayu bakar yang ada di tungku. Menggunakan tungku kayu tidaklah mudah. Sang gadis kecil harus menjaga api agar tidak padam ataupun terlalu besar yang bisa menyebabkan kebakaran di rumahnya yang sebagian besar terbuat dari kayu itu. Jika api mulai mengecil, ia harus meniup bara api sampai api muncul dan membesar lagi. Belum lagi asapnya yang sering membuat wajahnya yang mungil itu menjadi hitam. Sungguh. Itu sangat melatih kesabarannya.

Ketika air sudah mendidih, ia mematikan tungkunya. Ia harus mengerjakan satu pekerjaan lagi, yaitu mengisi sebuah bak mandi yang ada di dalam WC. Ia harus mengambil air dari sumur yang terletak 200 meter dari rumahnya. Namun, inilah masalahnya. Diperjalanan menuju sumur, ia bertemu dengan seorang anak laki-laki.

"Claudy!!!" panggil anak laki-laki itu.

"Udah ku bilang jangan panggil aku Claudy! Namaku Arlena Frigia! Panggil aku Lena!" kata anak perempuan itu dengan kesal.

"Loh? Namamu kan Claudy"

Lena kecil meletakkan embernya dengan kasar. Ia sangat benci dengan nama itu. Memang itu adalah nama yang diberikan oleh seorang Romo saat ia masih bayi. Kata orang nama itu berasal dari nama feminism dari Santo Klaudius. Seorang martir yang ditenggelamkan di sungai Tiber atas perintah Kaisar Diocletianus karena menolak membuat patung berhala. Itulah yang diceritakan oleh Suster Valentina, saat ia masih ikut sekolah minggu di gereja Katolik di desa seberang.

"Iya... Tapi itu dulu!!! Sekarang bukan!!!" ucap Lena geram.

"Oke.. Oke... Ayo! Aku punya sesuatu"

Anak itu menarik tangan Lena kecil menuju sebuah pohon mangga. Kemudian ia berjongkok dan menggali tanah di samping pohon itu.

"Ini.." anak itu memberikan sebuah kaleng bekas kepada Lena.

Lena membuka kaleng itu. Ia terkejut. "Sandi... Kamu beli kembang api? Gimana kalau nyonya tahu? Kamu bisa dimarahin lagi!!!"

Anak laki-laki bernama Sandi itu berdiri. "Mami gak akan marah kalau dia gak tahu... Dan.." Sandi merogoh saku celana belakangnya, "Ini.. Aku bawa korek" katanya sambil menunjukkan sekotak korek api.

My Last YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang