Baru Dimulai

5K 333 3
                                    

Nyonya Hendrawan nampaknya tidak mudah percaya dengan apa yang ia dengar dan lihat. Ia terus mencecar Lena dengan pertanyaan-pertanyaan menyudutkan dan menghinanya. Lena sangat muak mendengarnya. Wanita tua itu harus diberikan pelajaran, dengan begitu ia bisa hidup tenang dan tidak ada yang akan mengganggunya lagi.

Tapi Lena masih ragu menerima pernikahan yang ditawarkan Sang Dokter. Menurutnya pernikahan bukanlah sesuatu yang dapat dipermainkan seperti berita kawin-cerai yang sering ia dengar dari program acara gosip selebritas di televisi. Lebih dari itu. Ia belum siap dengan sebuah ikatan yang akan menghambat ambisinya.

Aggrrhh!! Aku bingung!!! Ucapnya di dalam pikirannya.

Setelah cukup lama berkutat dengan kegundahan hati, akhirnya Lena membuat sebuah keputusan. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Romi. "Halo, Selamat Siang. Apakah saya bisa bertemu dengan dokter Daniel?"

Di ujung telepon, Romi berkata, "Tuan Daniel ada di dekat Saya. Apakah Nona ingin berbicara dengannya?"

"Baiklah."

Beberapa saat kemudian, suara berat terdengar dari ponsel Lena. "Halo.."

"Aku setuju!" ucap Lena cepat.

Suara Daniel sempat tidak terdengar. "Setuju untuk?"

"Aku setuju menikah denganmu."

"Baiklah. Aku akan menemuimu untuk membicarakannya."

XXXX

"Jadi apa perjanjiannya?" Lena membuka pembicaraannya dengan Daniel. Ia tak suka berbasa-basi. Setelah mereka menghabiskan makan siang itu, ia langsung ke topik pembicaraan.

"Perjanjian apa yang kau maksudkan?"

"Itu... Emm... Misalnya semacam kontrak mungkin."

"Kontrak?" Daniel mengernyitkan keningnya bingung.

"Ya, kau tahu lah. Kontrak yang berisi kapan pernikahan ini akan berakhir atau yang lainnya."

"Aku menikah bukan untuk bercerai, Nona. Lagi pula aku menikahimu, bukan mempekerjakanmu. Aku tak butuh perjanjian, kontrak atau semacamnya."

Benarkan? Ini yang ditakutkan oleh Lena. Sebuah ikatan yang terus menjeratnya seumur hidupnya. Ikatan yang mengharuskan ia dan pria itu untuk hidup berdua hingga maut menjemput mereka.

Daniel memperhatikan wajah Lena. Sepertinya wanita itu sedang berpikir keras. "Seharusnya kau memikirkannya terlebih dahulu sebelum menemuiku, Nona. Bagaimana? Apa kau membutuhkan waktu lagi untuk berpikir?"

"Tidak!" jawab Lena mantap. Senyum simpul pun terulas di bibirnya yang berwarna merah muda itu. "Ayo kita menikah!"

"Kau yakin?"

Lena mengangguk, "Tapi asal kau tahu, aku tak bisa menjadi istri yang kau idam-idamkan. Jadi, jangan pernah berpikir aku akan menjadi istri yang sempurna."

Daniel menyeringai, "tentu saja! Aku tidak pernah berpikir kau akan menjadi istri yang sempurna."

Lena tersenyum kecut. Sial! Kenapa dia malah merasa tertohok dengan kalimat yang di lontarkan pria itu?

"Hanya menjadi dirimu sendiri saja, sudah cukup bagiku," tekan pria itu.

Sebenarnya Lena menyatakan persetujuannya kepada pria itu bukan berarti ia akan siap menikah dalam waktu dekat. Namun, Daniel tidak mengartikannya seperti itu. Karena bagi Daniel, ketika wanita itu mengatakan setuju, itu berarti ia harus siap menikah kapanpun juga, termasuk jika pernikahan mereka akan dilangsungkan minggu depan.

My Last YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang