Lena menatap jam. Sudah pukul 7 pagi. Ia duduk tegak di tempat tidur, memandang ke sekelilingnya. Ia baru teringat bahwa ia tidak berada di dalam apartemennya melainkan di rumah Daniel. Sebagai manusia yang beradab, Lena seharusnya sudah bangun sekarang. Apalagi Elden dan Erie masih berada di dalam rumah itu. Lena bergegas ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya.
Perangai lembut Erie menyambut Lena ketika wanita itu tiba di dapur. Ternyata benar. Kakak iparnya itu sangat rajin untuk mempersiapkan sarapan.
"Selamat pagi Lena," sapa Erie kepada Lena.
"Pagi, kak," jawab Lena. Wanita itu melihat keterkejutan dari wajah Erie. Sepertinya ia terlalu lancang menyebut wanita di depannya itu dengan sebutan 'kak'. "Ah! Maaf..."
Erie menggeleng, "tidak..tidak.. Kau tidak perlu meminta maaf. Justru aku sangat senang mendengar panggilanmu. Daniel tak salah memilihmu sebagai istrinya."
Lena tersenyum kecut. Tiupan angin New York yang dingin seolah membekukan tubuhnya. Ia menghirup napas dengan frustasi lewat hidungnya. Oh ayolah! Lena benci harus berbohong. Ia tak pintar melakukan hal itu, makanya ia lebih memilih menjadi news anchor ketimbang menjadi aktris. Tapi sekarang, dia harus bersandiwara menjadi wanita yang dicintai dan mencintai Daniel? Astaga. Lena tak bisa melakukannya.
"Kak, sebenarnya..."
"Kau bukan tunangannya!"
Lena terkejut mendengar penuturan Erie. "Ha?"
"Bukankah kau ingin mengatakan bahwa kau bukan tunangan Daniel?"
"Darimana kakak tahu?"
Erie tersenyum lembut. Ia memegang tangan Lena. "Daniel tak pernah berbohong kepada aku dan Elden, Lena."
"Lalu mengapa kakak mengizinkan ku untuk menikah dengannya?"
"Apakah aku punya alasan untuk tidak mengizinkan pernikahan kalian? Oh Lena! Ini pernikahan Daniel dan dirimu. Aku tak punya hak untuk menolaknya."
Lena sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Erie. Seharusnya wanita itu menganggapnya sebagai wanita penipu atau setidaknya wanita itu merasa marah karena telah dibohongi oleh dirinya. Tapi Erie justru menunjukkan hal sebaliknya. Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan wajah marah apalagi kecewa.
"Apa kau menganut sauvinisme?" ujar Erie sambil memotong-motong sayuran.
Sauvinisme? Yang benar saja! Lena tidak akan menganut ajaran tentang cinta tanah air sampai sefanatik itu. Terkadang ia malah ingin meninggalkan negaranya walau rasa patriotnya selalu mengurungkan niatnya.
"Tidak kak!"
"Aku rasa juga begitu. Seorang jurnalis sepertimu sangat tidak mungkin untuk menganut ajaran seekstrem itu."
"Mengapa kakak bertanya seperti itu?"
"Aku ingin memasak sesuatu. Tapi bukan masakan Indonesia. Aku hanya takut masakanku tidak sesuai dengan lidahmu."
"Tidak kak. Aku tidak suka pilih-pilih makanan."
"Baguslah. Kau tahu, kita ternyata sangat mirip. Setidaknya pekerjaan kita memiliki suatu persamaan."
"Persamaan?"
"Ya.. Desainer dan jurnalis sama-sama membuka peluang untuk berkeliling dunia."
Lena mengangguk membenarkan ucapan Erie. "Berapa negara sudah kakak kunjungi?"
"Aku sangat menyukai traveling. Sepertinya sudah lebih dari 30 negara." Erie mulai menceritakan pengalamannya berkeliling ke negara-negara yang pernah ia kunjungi. Tak hanya jenis makanannya, budaya dan penduduk lokalnya pun tak luput ia ceritakan. Mereka menyiapkan sarapan sambil berbincang-bincang riang di dapur. Meskipun Lena baru mengenal Erie, namun ia merasakan kedekatan yang sulit dijelaskan dengan wanita yang baru menjadi kakak iparnya itu. Ia merasa seperti sedang berbicara dengan kakak kandungnya, Maria. Walaupun begitu, ia tak lantas menceritakan masa lalunya kepada Erie. Bicara masa lalu kepada orang asing merupakan hal yang cukup berisiko.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Last Yesterday
Romance(Novel ini adalah novel dewasa yang memuat adegan-adegan dewasa pula. Dimohon kebijaksanaan pembaca yang ingin membacanya!) Masa lalu yang kelam dan dendam yang membara membuat seorang wanita begitu ambisius ingin menjadi seorang dokter. Namun takdi...