"Apa pedulimu?"
Suara nyaring Lena memulai perdebatan pagi ini. Kejadiannya sebenarnya sangat sederhana. Lena ingin segera berangkat ke kantor namun Daniel mencegatnya. Tujuan pria itu hanya satu. Ia ingin Lena menghabiskan sarapannya terlebih dahulu sebelum pergi bekerja.
"Karena kau adalah istriku. Wajar saja aku peduli." Daniel meletakkan sayuran dan lauk-pauk ke atas piring Lena. Kemudian ia memberikan isyarat agar wanita itu duduk dan memakan makanannya.
Lena melangkah dengan enggan. Ia duduk di samping Daniel dan mulai mengambil sendoknya. Ia melirik pria itu dengan tajam. "Apa kau menyukaiku?"
"Ughhuukk!!!" Daniel tersedak. Ia mengambil gelas dan meminum air dalam gelas itu hingga tandas. Kemudian ia memandang Lena lekat. "Bagaimana jika aku menjawab, ya, aku menyukaimu."
Sekali lagi, mata mereka beradu pandang. Mata pria itu menyorotkan tatapan yakin dan sungguh yang membuat Lena berulangkali mengalami perasaan tak menentu. Astaga! Apa yang terjadi kepadanya? Ia adalah wanita dewasa. Terlalu tua baginya untuk merasa canggung dengan pernyataan suka dari seorang pria. Ia bukanlah remaja labil yang pantas merasa berbunga-bunga mendengarnya.
Situasi itu membuat apartemen Daniel yang memiliki pendingin ruangan itu teraasa gerah. Lena memilih secepat mungkin menghabiskan makanannya. Ia tidak ingin berlama-lama berada di dekat pria itu.
"Kau tidak perlu khawatir. Kau bukan tahanan dan tidak akan ada yang memata-mataimu lagi. Bahkan kau sekarang bebas memilih kendaraanmu sendiri," ucap Daniel saat Lena menatap tajam ke arah Romi yang berdiri di dekat pintu.
"Syukurlah jika kau mengerti." Lena menghembuskan napasnya lega. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada Daniel, tapi apapun itu, Lena sangat berterima kasih karena telah membuat pria itu tidak lagi mengikatnya.
Bus trans Jakarta adalah transportasi dipilih Lena untuk mengantarkannya ke kantor barunya. Bus yang sedikit lebih kecil dan ramai, namun nyaman, dan tidak terlalu berdesak-desakkan. Maklum bus trans ini masih baru dan banyak masyarakat yang masih trauma dengan kejadian banyaknya armada bus trans yang terbakar beberapa hari yang lalu.
"Reza, panggil saja aku Reza." Begitulah ucap seorang pria yang berusia tidak cukup jauh dari Lena. Pria pertama yang memperkenalkan dirinya kepada wanita itu. Dia adalah karyawan tetap stasiun televisi ini. Sudah tiga tahun lebih tepatnya Reza mengabdikan diri sebagai asisten produser tiga program talkshow.
Lena adalah wanita yang cerdas. Ia sangat mudah beradaptasi. Terbukti dengan hasil kerjanya yang cukup gemilang karena sukses membuat sebuah program talkshow yang baru dan segar. Dummy program* (contoh program acara yang ditunjukkan kepada responden untuk keperluan pra produksi) yang baru-baru ini ia rilis, mendapatkan respons positif dari para pemirsa. Alhasil, hanya dalam waktu dua bulan, Lena telah dipercaya untuk memimpin sebuah tim kreatif program acaranya. Meskipun program acaranya tetap bertema kesehatan, karena Lena menyadari, seberapa jauh ia berlari, ia tetap tidak bisa melepaskan dunia medis tersebut.
XXXX
Gugup.
Satu kata yang bisa melukiskan perasaan Lena saat ini. Lena sangat gelisah. Sebagai ketua tim kreatif, besok pagi ia harus menyiapkan konsep program acara kepada atasannya. Sebenarnya timnya telah menentukan issue yang akan diangkat minggu depan di programnya adalah tentang Hemofilia, suatu penyakit yang menyebabkan gangguan perdarahan karena kekurangan faktor pembekuan darah. Issue ini mereka angkat karena Hemofilia merupakan salah satu jenis penyakit langka dan mematikan di Indonesia. Sayangnya, tidak banyak orang mengenal penyakit itu, apalagi mendeteksi pasien hemofilia secara kasat mata karena pasien akan terlihat dalam kondisi sehat. Padahal, sebenarnya mereka menjadi penyandang hemofilia.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Last Yesterday
Romance(Novel ini adalah novel dewasa yang memuat adegan-adegan dewasa pula. Dimohon kebijaksanaan pembaca yang ingin membacanya!) Masa lalu yang kelam dan dendam yang membara membuat seorang wanita begitu ambisius ingin menjadi seorang dokter. Namun takdi...