Hari sudah hampir tengah malam ketika Lena memeriksa setumpuk folder di komputernya. Ini hari ketiga Lena harus lembur pasca kejadian pertemuannya dengan Sia. Belakangan ini ia sering terdiam. Memikirkan tentang dirinya yang masih belum terlepas dari bayangan mengerikan itu. Jika begini terus, harapannya akan hancur, mimpinya meniti karier menjadi news presenter profesional akan kembali terhempas.
Jika ia ingin bertahan di industri media massa, ia harus siap beradaptasi bahkan berhadapan langsung dengan tugas, lokasi dan rekan yang benar-benar akan menggiringnya ke masa lalu. Tapi, jika tidak, ia harus siap kehilangan semuanya.
"Mbak Lena tidak pulang?" tanya seorang wanita yang bekerja di dalam ruangan yang sama dengan Lena.
Lena menghentikan ketikan di keyboard komputernya, menoleh ke arah wanita itu, lalu menggeleng. "Tidak. Aku harus menyelesaikan pekerjaan ini. Hanya tinggal sedikit lagi."
"Mau aku temani?"
Lena tersenyum, "Tidak perlu. Kau pulang saja. Lagi pula pekerjaanku juga sebentar lagi akan selesai."
"Baiklah Mbak. Aku pulang dulu. Selamat Malam Mbak."
"Selamat Malam," ucap Lena sambil tersenyum sebelum sosok wanita itu benar-benar lenyap.
Beberapa saat, setelah kepergiaan wanita itu, Lena menghela napas lega. Ia meregangkan tubuhnya untuk melepaskan segala kepenatan dalam tubuhnya. Sunyi. Lena baru menyadari bahwa sedari tadi ia hanya sendiri di ruangan itu dan sekarang rasanya tenggorokannya tercekat karena rasa dahaga yang melanda.
Lena bersiap-siap pulang. Ia sudah mematikan komputernya dan membereskan tasnya.
"Hey," sapa Reza secara tiba-tiba.
"Oh hey!" jawab Lena. Ia mengerjap saat melihat sang asisten produser, yang mendadak muncul di ruangannya dan menutup pintu yang tadinya sedikit terbuka.
"Aku dengar kau belum pulang, jadi aku kemari untuk menyapamu."
"Iya Pak. Tadi ada pekerjaan yang harus saya kerjakan."
"Hmm, sudah aku katakan. Berhenti bersikap formal!"
"Ah, iya. Saya lupa. Maaf. Emmm.... Lalu apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku baru saja menyelesaikan proyek talkshow terbaru."
Lena teringat akan informasi yang tadi siang diberitahu oleh atasannya bahwa studio 8, empat lantai di bawah ruangan Lena sedang ada perombakan untuk talkshow terbaru. Ternyata Rezalah sebagai penanggungjawabnya.
"Kau ingin kopi?" ucap Reza. "Vanilla Latte? Atau Cappucino?"
"Tidak perlu. Tidak usah repot-repot."
"Aku tidak repot dan aku sudah membelinya. Jadi, Vanilla Latte atau Cappucino?"
"Hmmm. Cappucino saja."
Reza tersenyum, "Tepat seperti dugaanku." Pria itu menyerahkan cup yang berisi Cappucino kepada Lena. Awalnya wanita itu menatap ragu, namun karena rasa gatal di tenggorokannnya, ia langsung mengambil cup itu. "Terima kasih," katanya sambil meneguk Cappucinonya.
Beberapa detik kemudian, Reza memandang Lena dengan tatapan yang sulit dimengerti. Tatapan mata yang aneh dan mengerikan. Ia seperti singa kelaparan yang tengah menatap buruannya. Membuat Lena sangat risih dengan pandangan nakal pria itu. Ternyata benar dugaan Lena, ucapan terima kasih saja tidak cukup bagi pria itu. Karena ia memiliki suatu maksud tersembunyi
"Sepertinya obat perangsangnya sudah mulai bereaksi," ujar pria itu sambil tersenyum penuh kemenangan. Ia menikmati pemandangan di depannya, di mana Lena sedang menggeliat kepanasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Last Yesterday
Romance(Novel ini adalah novel dewasa yang memuat adegan-adegan dewasa pula. Dimohon kebijaksanaan pembaca yang ingin membacanya!) Masa lalu yang kelam dan dendam yang membara membuat seorang wanita begitu ambisius ingin menjadi seorang dokter. Namun takdi...