Tebusan

5.4K 328 4
                                        

Tak henti-hentinya Lena melirik jam tangannya. Sudah pukul tiga siang. Rumah sakit ini memberikan kenangan yang buruk bagi Lena. Lima belas tahun yang lalu, kakaknya diusir secara paksa dari rumah sakit ini. Itulah sebabnya ia merasa tidak nyaman lama-lama berada di rumah sakit milik keluarga Sandi itu.

Lena yang duduk di koridor, tertegun melihat seorang wanita paruh baya tengah berbicara dengan beberapa dokter. Pandangannya hanya mengarah ke wanita itu tanpa mempedulikan bahwa dokter Daniel telah keluar dari ruang UGD. Sang dokter yang merasa heran dengan tingkah Lena otomatis mengikuti arah pandangan Lena seraya melangkah mendekatinya.

Lena beranjak dari bangkunya. Ia berjalan ke arah wanita itu. "Nyonya..." ucap Lena pelan.

Wanita yang dipanggil nyonya itu terkejut mendengar suara Lena. "Emm,,,," Sang Nyonya berpura-pura berpikir, "Ah iya! Lena. Sudah lama sekali tidak bertemu denganmu."

Ketidaksabaran sedemikian mencekam diri Lena. Rasa benci, jengah dan marah silih berganti di dalam dadanya. "Nyonya... Cepat kembalikan rumah keluarga saya."

Wanita paruh baya itu menatap Lena dengan tatapan menghina. "Kau tidak bisa membayar semua hutang-hutang rumah sakit kakakmu dan sekarang kau masih bermasalah dengan biaya ganti rugi dengan stasiun TV Y. Sekarang kau ingin aku mengembalikan rumahmu? Bahkan rumahmu itu tidak cukup untuk membayar bunga dari hutangmu."

Lena tertawa dengan keras. "Sudah saya duga. Ternyata Anda penyebabnya. Sayang sekali Nyonya. Sepertinya upaya Anda tidak berpengaruh untuk saya. Saya masih bisa berdiri di hadapan Anda. Dan satu lagi, sampai saat ini putra Anda masih tergila-gila pada saya."

PLAKK

Sebuah tamparan melayang dengan cepat di pipi kiri Lena. Tamparan dari Sang Nyonya. Lena sudah paham gerak gerik majikan kakaknya itu. Bahkan ia sudah hafal tamparan Sang Nyonya. Panas dan pedas. Membuat wajahnya terasa kebas.

Tapi pipinya yang merah tak mengurungkan niatnya. Tamparan itu tidak lagi menyakitkan baginya. Ia sudah terbiasa dan terkadang justru tamparan itu terasa nyaman untuknya. Tak ada air mata yang menetes dari pelupuk matanya karena Lena memang sudah tidak bisa menangis lagi. Air mata hanya membuatnya lemah dan Lena sangat benci dengan kata lemah. Ia datang kehadapan Sang Nyonya dengan tujuan yang kuat. Dan tekadnya sudah bulat untuk mencapai tujuan itu.

Sang nyonya menjadi bingung melihat Lena yang kekeuh berdiri di depannya. Bergeming dan tanpa kehilangan senyumnya. Ekspresi yang sama ketika ia dulu mendapat peringkat pertama di kelasnya.

"Memohonlah dan berlututlah maka aku akan mempertimbangkan untuk tidak menjual rumahmu..."

Brengsek!!!

Lena mengumpat di dalam hatinya. Wanita tua itu ternyata masih suka bermain-main dengannya. "Berbuatlah sesuka Anda, Nyonya. Sampai kapanpun saya tidak akan pernah memohon apa lagi berlutut di hadapan Anda!"

"Kau masih saja sombong Lena. Kita lihat sampai kapan kau akan kekeuh dengan kesombonganmu itu."

"Sampai putra Anda berhenti untuk mengejar-ngejar saya. Maka saat itu juga saya akan bersujud di depan Anda," ucap Lena dengan angkuh. "Silakan hancurkan saya Nyonya. Bila perlu Anda harus merantai Sandi agar ia tidak bisa kabur dari Anda. Saya rasa mengurungnya di apartemen mewah Anda di Singapura tak akan bisa menghentikan langkahnya."

Lena memandang wajah panik Sang Nyonya. Ia menyeringai kemudian berkata, "Saya permisi Nyonya. Saya tunggu rencana Anda selanjutnya." Lena melambaikan tangannya dan berjalan meninggalkan wanita paruh baya itu.

Maafkan aku, Sandi. Kata Lena di dalam hatinya. Sebenarnya ia sama sekali tidak tahu di mana Sandi berada. Namun, teman satu asramanya sewaktu SMA yang kebetulan juga teman satu apartemen Sandi yang menceritakan semuanya. Tesa, temannya itu adalah satu-satunya teman yang dimiliki oleh Lena. Berkat sering belajar bersama, Tesa saat ini telah menjadi pengacara handal yang telah memecahkan berbagai kasus hukum besar.

My Last YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang