Skandal

4.9K 284 6
                                    



"Bolehkah aku membunuhmu?"

Sandi tersentak mendengar penuturan dari Lena. Namun, ia tak juga beranjak dari posisinya. Keheningan menyekat keduanya. Tak ada yang membuka mulut. Hanya hembusan napas memburu yang menjadi lantunan musik di telinga mereka. Sandi memberikan senyuman kepada Lena. Wanita itu menatapnya dengan berapi-api, seolah menunjukkan keseriusan wanita itu atas ucapannya. Ia memandang tulus kedua bola mata coklat milik sahabatnya itu, lalu berkata, "Aku siap mati di tanganmu, Claudy."

Lena terdiam mendengar perkataan Sandi sebelum kemudian tersadar. "Sialan! Aku lepas kendali lagi!" katanya sambil melepaskan kedua tangannya dari leher Sandi. Lantunan suara dering ponselnya membuyarkan suasana tegang mereka. Sebuah panggilan masuk dari Pak Putra.

Lena mengerutkan keningnya ragu. Ia yakin bahwa ia tak melupakan agenda apapun dan ia tidak meluputkan satu liputan pun hari ini. Lantas, mengapa sang wakil pemimpin redaksi itu menghubunginya?

"Selamat Siang Pak," sapa Lena kepada atasannya itu.

"Siang. Apa kau yang akan meliput konferensi pers hari ini?"

Lagi. Lena mengerutkan keningnya. "Konferensi pers apa, Pak?"

"Kau ini bagaimana! Jangan bilang kau tidak mengetahuinya! Bukankah kau jurnalis departemen kesehatan?"

"Benar Pak. Tapi saya tidak mengetahui bahwa hari ini saya harus meliput konferensi pers."

"Sudahlah! Sekarang kau harus pergi ke Jakarta. Hari ini putra dari konglomerat Alvaro akan mengumumkan kepemilikannya atas lima rumah sakit terbesar di Indonesia."

Sialan! Lena mengumpat di dalam hatinya. Kenapa ia sama sekali tidak mendengar apapun soal ini? Tunggu dulu! Putra konglomerat Alvaro? Kali ini Lena yakin bahwa Alvaro yang dimaksud adalah nama keluarga dari Daniel karena bagi pewarta berita, julukan 'konglomerat' hanya ditujukan untuk keluarga itu.

Tapi siapa yang dimaksudkan? Apakah Elden atau Daniel? Tadi pagi Daniel tidak mengatakan apa pun. Dan Romi pun tidak menceritakan mengenai hal ini. Arrgghh!!! Brengsek!

"Lena! Kau mendengar perkataan saya?"

Lena menggelengkan kepalanya sebentar untuk membuyarkan pikirannya, lalu menjawab, "Iya Pak. Saya mendengarnya."

"Kau harus segera ke Jakarta karena konferensi persnya akan dimulai pukul 6 sore. Saya akan mengirimkan lokasinya."

"Baik Pak. Terima kasih."

Usai memutuskan panggilannya, Lena buru-buru memeriksa ponselnya. Ia harus segera menghubungi pria bedebah itu.

"Apa ini?" ucap Lena terkejut melihat sebuah nama tertera di daftar kontak teleponnya. Suamiku? Sialan! Pria itu sudah gila atau apa? Berani sekali ia memasukkan nomor ponselnya dan menamainya dengan sebutan menjijikan seperti itu. Dasar!

"Claudy, ada apa?"

Oh ya! Lena melupakan ini. Sandi. Ia lupa bahwa saat ini ia tengah berada di taman bersama sahabatnya itu. Pekerjaannya itu selalu berhasil membuatnya melupakan hal-hal yang ada di sekitarnya.

"Maafkan aku Sandi. Aku harus kembali ke Jakarta sekarang."

"Ada apa? Kau terlihat terburu-buru."

"Yah... Ada konferensi pers yang harus aku liput. Aku harus segera pergi," kata Lena seraya mengambil tasnya.

"Tunggu Claudy! Aku membawa mobil. Aku bisa mengantarmu."

Lena menggeleng. "Tidak perlu. Aku bisa pergi sendiri." Ia memeluk Sandi sebentar. "Aku harap aku bisa bertemu lagi denganmu," ucapnya sambil menatap wajah Sandi kemudian pergi meninggalkan pria itu.

My Last YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang